Headlines News :

Believe to JESUS

Believe to JESUS

Komite MSG Bertemu Bahas Keanggotaan ULMWP

Sub komite Melanesian Spearhead Group (MSG) untuk Hukum dan Isu-isu Institusional di Vanuatu untuk membicarakan panduan keanggotaan organisasi (Foto: Sekretariat MSG)
PORT VILA, Amugi Kibah - Sebuah komite Melanesian Spearhead Group (MSG) mengadakan pertemuan di Port Vila, Vanuatu, untuk membahas pedoman mengenai keanggotaan di organisasi regional itu.
Sub komite Hukum dan Isu Institusional merupakan komite yang ditugaskan oleh para pemimpin MSG pada KTT Juli lalu, untuk menjelaskan panduan dan kriteria bagi tingkatan keanggotaan seperti peninjau (observer), associate dan anggota penuh.
MSG adalah organisasi negara-negara di Pasifik Selatan, terdiri dari Solomon Islands, Vanuatu, Fiji, Papua Nugini dan gerakan kemerdekaan Kanak (FLKNS) Kaledonia Baru. Indonesia menjadi anggota associate sedangkan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menjadi peninjau.
Perlu diperjelasnya perihal kriteria keanggotaan itu dikarenakan lima anggota penuh selama ini berselisih paham dalam mempertimbangkan permohonan ULMWP untuk menjadi anggota. Indonesia menolak keanggotaan ULMWP karena menganggap rakyat Melanesia di Indonesia diwakili sendiri oleh Indonesia. Sedangkan ULMWP yang selama ini berjuang menentukan hak menentukan nasib sendiri, menganggap mereka merupakan perwakilan dari Melanesia di Indonesia. Papua Nugini dan Fiji mendukung sikap Indonesia sementara Vanuatu, Solomon Islands dan FLKNS mendukung ULMWP.
ULMWP mendapat status peninjau pada KTT MSG tahun lalu namun permohonan untuk menjadi anggota penuh terus tertunda karena belum jelasnya kriteria keanggotaan.

Dalam pertemuan selama dua hari itu, seorang pejabat luar negeri Solomon Islands, William Soaki mengatakan pedoman keanggotaan itu diperlukan agar kriteria tersebut memberikan kontribusi pada tujuan keseluruhan kelompok.
Ia memperkuat pendapat yang baru-baru ini dilontarkan oleh Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai, bahwa sejak tahun lalu kriteria keanggotaan MSG telah dikembangkan dengan tidak mencerminkan prinsip-prinsip awal pendirian kelompok itu, yang berkisar di seputar upaya dekolonisasi Melanesia.
Soaki mengatakan pedoman diperlukan untuk memberikan ruang lingkup yang lebih ramping dan jelas bagi para pemimpin untuk digunakan dalam menilai ekspresi kepentingan atas berbagai bentuk keanggotaan dalam MSG.
Direktur Jenderal Sekretariat MSG, Amena Yauvoli, mendorong komite untuk memberikan "resolusi yang bisa diterapkan ke depan".
Ia mengatakan pembahasan panitia adalah "sangat penting bagi masa depan organisasi" karena isu keanggotaan Papua bisa membuat atau menghancurkan organisasi.
Belum jelas kapan KTT MSG akan dilangsungkan kembali, setelah selama ini sempat tertunda  untuk mengambil keputusan atas permohonan keanggotaan ULMWP. Beberapa waktu lalu, sekretariat MSG mengusulkan KTT MSG dilakukan pada 20 Desember ini, namun belum ada tanggapan atas usulan tersebut.
SUMBER=SATUHARAPAN.COM

Gereja-gereja di Papua Dukung RI Berdialog dengan ULMWP

Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters (tengah), berfoto bersama sejumlah tokoh agama Papua di Hotel SwissBell, Jayapura, seusai melakukan pertempuan. Pdt Socratez Sofyan Yoman tampak berdiri paling kiri (Foto: satuharapan.com/Socratez Sofyan Yoman)
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Gereja-gereja di Papua mendukung Indonesia mengadakan dialog dengan gerakan pro penentuan nasib sendiri di Papua, yakni United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.
Hal ini disampaikan oleh Pendeta Socratez Yoman, Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, dalam pertemuan tokoh-tokoh agama di Papua dengan Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters, di SwissBell Hotel, Jayapura, pada hari Rabu malam (16/11).
 Pendeta Socratez Sofyan Yoman berfoto bersama Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters seusai bertemu di Jayapura, Rabu, 16/11/2016. (Foto: Socratez Yoman)

Pada kesempatan itu selain tokoh gereja, tokoh ulama dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah turut hadir, dan menyampaikan pendapat kepada wakil duta besar.
Dalam keterangannya kepada satuharapan.com, Socratez mengatakan ia menyampaikan pendirian gereja-gereja di Papua kepada wakil dubes AS, yakni meminta pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP, yang menurut dia adalah payung politik resmi rakyat Papua.
"ULMWP itu lembaga resmi yang dibentuk dan didukung oleh seluruh rakyat dan bangsa Papua dan diakui oleh masyarakat internasional," kata dia.
"Gereja-gereja di Papua, terutama GKI di Tanah Papua, Gereja Kingmi, GIDI dan Baptis mendorong pemerintah Indonesia berunding dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral," kata Socratez.
ULMWP kini tengah berjuang untuk mendapatkan keanggotaan penuh di Melanesian Spearhead Group (MSG), organisasi sub regional di kawasan Pasifik, yang beranggotakan Papua Nugini, Fiji, Vanuatu, Solomon Islands dan FLNKS Kaledonia Baru. Indonesia menjadi associate member di organisasi ini sedangkan ULMWP sampai saat ini masih berstatus sebagai peninjau.
Permohonan keanggotaan ULMWP telah menjadi batu pengganjal di dalam tubuh MSG karena dua negara, Papua Nugini dan Fiji, condong untuk menolak keanggotaan ULMWP, seperti halnya Indonesia.
Di sisi lain, bagi ULMWP keanggotaan di MSG sangat penting karena dengan keanggotaan tersebut, mereka dapat berdialog dengan Indonesia dalam kerangka sesama anggota MSG.
Dalam Roadmap Papua edisi revisi yang disusun oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kehadiran kelompok diaspora seperti ULMWP telah diakomodasi dan saran dialog yang dikemukakan dalam roadmap tersebut meliputi juga dialog dengan kelompok ini. Namun, Jakarta masih terkesan enggan untuk membuka jalur dialog tersebut.
Terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, Socratez mengatakan ia menyampaikan penjelasan kepada wakil dubesAS  bahwa rakyat Papua pada umumnya menolak Tim Terpadu Penyelesaian HAM di Papua yang dibentuk oleh Menkopolhukam.
Menurut dia, penolakan itu didasarkan pada pemikiran bahwa pemerintah adalah pelaku kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Papua. Oleh karena itu, ia mengusulkan perlu dibentuk tim yang lebih independen yang melibatkan lembaga-lembaga internasional.
"Perlu ada utusan khusus PBB ke Papua sebagai tim pencari fakta," kata Socratez.
Selain itu, kepada wakil dubes AS juga disampaikan sejumlah usulan lain, di antaranya meminta pemerintah RI membuka akses kepada wartawan asing untuk berkunjung ke Papua.
Tidak lupa, Socratez juga mengungkapkan terimakasihnya kepada tujuh negara Pasifik yang telah mengangkat persoalan HAM Papua di PBB.
"Rakyat dan bangsa Papua sekarang berdiri dengan teman-teman di negara-negara Pasifik," kata Socratez.
Menurut Socratez, selama pertemuan itu wakil dubes AS lebih memilih mendengarkan penjelasan dari para hadirin. Di akhir pertemuan, kata Socratez, wakil dubes hanya memberikan jawaban singkat, berupa ucapan terimakasih karena telah memberi masukan dan informasi dengan jujur dan terbuka.
"Beliau tidak melontarkan pertanyaan, beliau banyak mendengar," kata Socratez.

Wakil Dubes AS Terima Laporan Pelanggaran HAM di Papua

Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters (ketiga dari kanan) bertemu dengan tim Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari di bawah pimpinan Direktur Eksekutif, Yan Christian Warinussy (kedua dari kanan) di Hotel Aston-Niu-Sowi Gunung-Manokwari, Kamis (17/11). Pada kesempatan itu, Wakil Dubes AS menerima laporan pelanggaran HAM di Papua dari tim LP3BH. (Foto: dok satuharapan/Yan Christian Warinussy)
MANOKWARI, AMUGI KIBAH - Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters, dan tim menerima laporan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, dalam sebuah pertemuan di Hotel Aston-Niu-Sowi Gunung-Manokwari, Kamis (17/11).
Wakil Dubes menerima laporan pelanggaran HAM secara lisan dalam pertemuan itu dari  tim Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari di bawah pimpinan Direktur Eksekutif, Yan Christian Warinussy.
Dalam Pertemuan tersebut, Yan Christian  didampingi Kepala Divisi Pelayanan Hukum LP3BH, Simon Banundi dan Kepala Divisi Advokasi Hak Perempuan dan Anak LP3BH, Theresje Julianty Gasperz. 
Turut hadir Ketua Badan Pengurus LP3BH, Dr.Ir.Agus Sumule yang juga sebagai akademisi di Universitas Papua serta Sekretaris Badan Pengurus LP3BH, Ir.Thera Sawor.
Menurut Yan Christian kepada satuharapan.com, dalam pertemuan selama lebih kurang dua jam, Tim LP3BH menjelaskan kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat pada peristiwa Sanggeng, Manokwari, tanggal 26 dan 27 Oktober 2016 lalu.
"Kami menjelaskan bahwa atas kasus tersebut sudah dilakukan investigasi awal oleh TIM LP3BH," kata Yan.
Menurut dia, semua data beserta sejumlah barang bukti dan keterangan saksi-saksi sudah diserahkan kepada Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Provinsi Papua. Juga sudah diserahkan kepada Tim dari Komnas HAM di bawah pimpinan komisioner Natalius Pigay seminggu lalu di Manokwari..
Dalam pertemuan itu, lanjut Yan Christian, MacFeeters menanyakan  perkembangan penghormatan kepada HAM di Papua dan Papua Barat.
MacFeeters ingin mengetahui apakah sudah semakin baik, karena Presiden Joko Widodo sudah memberi perhatian besar ke Tanah Papua sejak dia dilantik sebagai Kepala Negara.
"Kami menjelaskan bahwa situasi HAM di Tanah Papua senantiasa buruk, dan indikatornya adalah bahwa berbagai kasus pelanggaran HAM dan kekerasan negara melalui tindakan aparat keamanan dari POLRI maupun TNI senantiasa meningkat," kata Yan Christian.
Lebih jauh, Yan Christian mengatakan kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi rakyat Papua masih terus dibungkam dengan mengedepankan kekerasan, menghambat rencana aksi damai masyarakat asli Papua dengan prosedur aturan perundangan mengenai kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Juga ada penempatan label makar dan separatis untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi tersebut di Tanah Papua, menurut Yan Christian.
Tim LP3BH juga menjelaskan bahwa berbagai kasus pelanggaran HAM masih berlanjut dan jarang ada penyelesaian secara hukum.
"Padahal Indonesia memiliki Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menjadi dasar hukumnya," kata Yan Christian.
Pada kesempatan yang sama, Advokat Simon Banundi yang hadir pada pertemuan, menjelaskan bahwa pemerintah Presiden Joko Widodo menyatakan membuka akses bagi jurnalis asing untuk masuk ke Tanah Papua. Tetapi dalam kenyataannya tidak terjadi.
Presiden juga berjanji akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua. Dalam kenyataannya, kata dia, belum ada bukti bahwa pemerintah serius dan mau melakukan hal tersebut.
Sementara itu Advokat Theresje Julianty Gasperz lebih menyoroti tingginya angka pelanggaran hak asasi perempuan dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga (domestic violance) serta kekerasan terhadap anak  dalam 10 tahun terakhir.
Hal ini menjadi keprihatinan masyarakat Papua dan LP3BH mendorong perlunya dilakukan pendidikan dan penyadaran hukum bagi semua pihak di Provinsi Papua dan Papua Barat mengenai perlindungan hak-hak perempuan dan anak sebagaimana diatur di dalam aturan perundangan yang berlaku.
Kepada Wakil Dubes, Yan Christian mengatakan  belum melihat adanya keseriusan pemerintah di bawah kepempimpinan Presiden Joko Widodo dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Oleh sebab itu, LP3BH mendorong Presiden Jokowi untuk memberikan dukungan penuh bagi upaya investigasi/penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM Berat dalam Kasus Paniai 8 Desember 2014 yang tengah dilakukan oleh Komnas HAM saat ini.
Di sisi lain, Yan Christian memberikan apresiasi kepada rakyat dan bangsa Amerika Serikat yang telah berhasil menjalankan pesta demokrasinya dengan baik dan dapat memilih Donald Trump sebagai Presiden Baru Amerika Serikat.
"LP3BH menyampaikan pesan agar pemerintahan Presiden Trump kelak dapat tetap menjalankan komitmen politiknya dalam konteks penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya dal;am konteks Tanah Papua," kata dia.
Dalam pertemuan tersebut Wakil Dubes AS didampingi Siriana Nair (Wakil Kepala Bidang Politik Domestik Kedubes AS) dan Wakil Direktur Kantor Hak Demokrasi dan Ketatapemerintahan yang baik USAID, Kevin P.McGrath dan staf.
SUMBER= http://www.satuharapan.com/

KTT MSG Dijadwalkan Bahas Keanggotaan ULMWP 20 Desember

Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi dan Menteri Luar Negeri Papua Nugini, Rimbink Pato, sedang berbincang-bincang. Papua Nugini diketahui sebagai salah satu negara yang mendukung sikap Indonesia di MSG (Foto: radionz.co.nz)
PORT VILA, AMUGI KIBAH - Direktur Jenderal sekretariat Melanesian Spearhead Group (MSG), Amena Yauvoli, mengatakan pihaknya telah mengusulkan tanggal pertemuan para pemimpin MSG yang sudah beberapa kali tertunda.
Yauvoli mengatakan sekretariat MSG mengusulkan pertemuan dilangsungkan pada 20 Desember di Port Vila, Vanuatu.
Sekretariat MSG masih menunggu konsensus dari para anggota MSG atas usulan tersebut.
Lima anggota MSG adalah Papua Nugini, Fiji, Vanuatu, Solomon Islands dan FLKNS Kaledonia Baru.
Pertemuan tersebut telah ditunda untuk kedua kalinya pada awal Oktober lalu dan sejak itu gagal menyepakati pertemuan selanjutnya.
Dalam pertemuan yang dijadwalkan 20 Desember itu, MSG akan membahas permohonan keanggotaan penuh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang selama ini ditentang oleh Indonesia. ULMWP saat ini berstatus sebagai peninjau, sedangkan Indonesia berstatus sebagai associate member.
Keanggotaan ULMWP merupakan masalah sensitif, terutama karena penolakan dari Indonesia yang menganggapnya sebagai gerakan separatis.
Isu keanggotaan ULMWP telah menjadi agenda prioritas MSG beberapa tahun terakhir yang sulit mendapat konsensus dari anggota.
Juli lalu, pertemuan para pemimpin MSG diadakan di Honiara, Solomon Islands, setelah beberapa kali perubahan tempat dan tanggal.
Di Honiara, para pemimpin menangguhkan keputusan terhadap permohonan keanggotaan penuh ULMWP dengan alasan perlunya dirumuskan kriteria keanggotaan.
Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai, kemudian menjelaskan bahwa sejak tahun lalu kriteria keanggotaan MSG telah dikembangkan dengan tidak mencerminkan prinsip-prinsip pendiri kelompok.
Vanuatu, Kepulauan Solomon dan FLNKS diketahui merupakan anggota MSG yang mendukung ULMWP menjadi anggota penuh. Sedangkan Papua Nugini dan Fiji condong mendukung pendirian Indonesia.
Di tengah frustrasi akan sulitnya menghadirkan seluruh anggota, muncul laporan yang mengatakan bahwa MSG bisa membuat keputusan tentang keanggotaan Papua jika setidaknya tiga dari lima anggota penuh hadir.
Yauvoli mengatakan selain membahas keanggotaan ULMWP, pemimpin MSG perlu untuk bertemu Desember nanti untuk menyetui anggaran sekretariat MSG untuk tahun 2017.
Sekretariat MSG pada tahun-tahun belakangan menghadapi masalah anggaran karena beberapa angggota penuh tidak membayar secara penuh iuran yang menjadi komitmennya. (radionz.co.nz)


 BACA INI LAGI YA

BERITA TERKAIT DUNIA

Aktivis HAM Apresiasi 7 Negara Pasifik Bawa Isu Papua ke PBB

Enam dari tujuh pemimpin negara Pasifik yang mengangkat isu Papua di Sidang Umum PBB. Dari kiri ke kanan (baris atas): Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai Tabimasmas, Perdana Menteri Solomon Islands, Manasseh Sogavare, Perdana Menteri Tonga, Samiuela 'Akilisi Pohiva, (baris bawah): Presiden Nauru, Baron Divavesi Waqa, Presiden Marshall Islands, Hilda Heine, Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sosene Sopoaga (Foto: webtv.un.org)
JAYAPURA,  - Berlawanan dengan reaksi keras pemerintah Indonesia atas langkah tujuh pemimpin negara Pasifik mengangkat isu Papua Sidang Umum ke 71 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Papua justru memberi apresiasi.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, lewat sebuah surat terbuka mengatakan dirinya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada tujuh pemimpin negara dari kawasan Pasifik yang telah mengangkat isu Papua di PBB. Menurut dia, mereka telah menyampaikan informasi aktual, faktual dan benar mengenai kondisi HAM di Papua yang telah dibungkam dan sengaja ditutupi oleh Pemerintah Indonesia selama lebih dari 50 tahun terakhir.
Ketujuh pimpinan negara tersebut, kata peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Kanada ini, adalah Perdana Menteri Solomon Island, Menasseh Sogavare; Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sosena Sopoaga; Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai Tabimasmas, Perdana Menteri Kerajaan Tonga, Samuela Akilisi Pohiva; Presiden Republik Kepulauan Marshall, Hilda.C.Heine; Presiden Nauru, Baron Divavesi Waqa; serta Permanent Representative dari Republiik Palau, Caleb Otto.
Selain itu ia juga mengucapkan terimakasih kepada Perwakilan Pemerintah Solomon Island, Barret Salato dan Utusan Khusus Solomon Island, Rex Horoi.
Yan Christian Warinussy (Foto: Dok Pribadi)
"LP3BH memandang bahwa informasi yang disampaikan para pemimpin dan utusan khusus maupun perwakilan pemerintah dari 7 negara Pasifik tersebut mengandung kebenaran berdasarkan data termasa yang diperoleh mereka  dari berbagai lembaga hak asasi manusia di dunia, termasuk LP3BH Manokwari," kata Yan.
Ia menegaskan pernyataan-pernyataan tujuh negara di depan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (MU PBB) pada akhir September 2016 tersebut dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum.
Berkenaan dengan itu, kata dia, desakan-desakan yang disampaikan dalam konteks meminta Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi untuk mengirim misi pencari fakta (fact finding mission) dan pelapor khusus (special raporteur) masuk ke Tanah Papua untuk melakukan investigasi, perlu mendapat dukungan dari rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia.
LP3BH, kata dia, menyerukan kepada tujuh pemimpin Pasifik tersebut untuk tetap berdiri teguh di depan perjuangan bersama dalam rangka penegakan hukum dan perlindungan HAM bagi rakyat Papua. Menurut dia, sebagai warga pribumi di Tanah Papua, mereka sedang mengalami marjinalisasi dan gejala ke arah pemusnahan etnis (genocida) yang sistematis dewasa ini.
"Kami menyerukan kepada Pimpinan Majelis Umum PBB dan Sekjen PBB untuk segera mengeluarkan resolusi guna mengirim misi pencari fakta dan pelapor khusus untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM Berat di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun terakhir ini," kata dia.
Solusi Menyelesaikan Pelanggaran HAM Papua
Yan juga menyodorkan sebuah konsep penyelesaian HAM Papua. Ia mengatakan sebenarnya mekanisme penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat di Tanah Papua, sama halnya dengan di daerah-daerah lain di Indonesia sudah sangat jelas dapat didekati berdasarkan instrumen hukum yang sudah ada.
Menurut dia, penyelesaian tersebut pada intinya berpijak pada 2 (dua) mekanisme, yakni terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu melalui mekanisme pengadilan HAM adhoc dan melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Sedangkan pelanggaran HAM Berat yang terjadi setelah pembentukan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dilakukan melalui Pengadilan HAM.
Ia menjelaskan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 2000, tepatnya sejak tanggal 23 November 2000 saat disahkan dan diundangkannya UU No 26 Tahun 2000 di dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, seharusnya dapat diselesaikan dengan UU ini.
Oleh karena itu, menurut dia, UU ini semestinya dapat dipakai untuk menyelesaikan  kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang Berat di Tanah Papua, seperti kasus Wasior 2001, kasus Wamena tahun 2003, kasus Aimas- Sorong Mei 2013 dan kasus Paniai 8 Desember 2014. Menurut dia, kasus-kasus ini seharusnya dapat diselidiki (diinvestigasi) hingga disidik dan diproses sesuai dengan amanat pasal 10 hingga pasal 33 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Komnas HAM Perlu Bentuk Tim Ad Hoc
Yan mengatakan institusi yang berperan  di sini pada tingkat penyelidikan (investigasi) adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dengan membentuk Tim Ad Hoc, sesuai amanat pasal 18 ayat (1) dan ayat (2).
Selanjutnya sesuai ketentuan pasal 20 ayat (1) UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,  dalam hal KOMNAS HAM berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM yang Berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik.
Kemudian dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan, KOMNAS HAM menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik. Ini sesuai amanat pasal 20 ayat (2) UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Menjadi pertanyaan sekarang adalah, kata Yan, apakah dalam konteks penyelidikan dan mengarah kepada tahap penyidikan menurut amanat aturan perundangan tersebut, KOMNAS HAM dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia sudah menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya sesuai amanat pasal 20 terhadap kasus Wasior, Wamena dan Aimas-Sorong dan Paniai ? Ataukah tidak sama sekali ?
"Fakta saat ini, untuk kasus Wasior dan Wamena, tahapan menurut ketentuan pasal 20 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut sejauh pengamatan dan pengalaman saya sebagai Advokat HAM sudah dilalui oleh KOMNAS HAM dan Kejaksaan Agung RI," kata dia.
Oleh karena itu, lanjut dia, seharusnya sudah maju ke tahapan penyidikan sesuai amanat undang undang hingga perkara tersebut diajukan kepada persidangan Pengadilan HAM yang bebas, adil dan imparsial sesegera mungkin.
Sedangkan untuk kasus Aimas-Sorong Mei 2013, lanjut Yan, kendatipun salah satu komisioner KOMNAS HAM yaitu Saudara Nurcholis pernah datang bersama mantan Ketua DPR PB Jimmi Demianus Ijie menemui korban-korban di rumah sakit Aimas-Sorong, nasib pengusutan kasus tersebut sama sekali tidak jelas, Ini, kata dia, telah meninggalkan tanda tanya besar di pihak rakyat Papua hingga hari ini. Termasuk korban tewas 2 (dua) orang dan beberapa yang luka-luka saat itu.
Sementara untuk kasus Paniai 8 Desember 2014, kata dia, sesungguhnya sudah ada langkah maju dari KOMNAS HAM dengan mengimplementasikan amanat pasal 19 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dengan membentuk Tim Ad Hoc untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM yang Berat di lapangan Karel Gobay, Enarotali-Kabupaten Paniai tersebut.
"Dari sini menurut pandangan saya, Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Ir.H.Joko Widodo seharusnya memberikan dukungan politik dan teknis serta penganggaran yang memadai bagi KOMNAS HAM dan juga Kejaksaan Agung RI untuk menjalankan tugas penegakan hukum dalam peristiwa tersebut tanpa memihak dan terkesan "mengganggu" dan atau "mengintervensi" senantiasa," kata dia.
Kasus Sebelum Tahun 2000
Sementara itu, bagi kasus-kasus dan peristiwa-peristiwa yang diduga terjadi pelanggaran HAM yang Berat sebelum tahun 2000, kata Yan, termasuk di dalamnya dugaan peristiwa tahun 1963, 1965 dan juga 1969 sebelum dan sesudah Tindakan Pilihan Bebas (Act of Free Choice) maupun dugaan peristiwa dugaan pelanggaran HAM yang Berat di kawasan Pegunungan Tengah-Tanah Papua tahun 1977-1978, kesemuanya  dapat ditempuh melalui jalan penyelidikan. Kelak  hal ini dapat bermuara pada dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana diatur di dalam pasal 43 dan 44 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Bisa juga untuk konteks Papua sejak sekarang dapat dilakukan kajian dan diskusi dalam upaya mendorong dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sesuai amanat pasal 45 ayat (1) dan pasal 46 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua," kata dia.
Alternatif lain, kata Yan, melalui mekanisme non justitia (di luar hukum) melalui mekanisme KKR berdasarkan amanat pasal 44 ayat (1) dan pasal 45 ayat (2) UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Ia menambahkan,khusus bagi kasus Paniai 8 Desember 2014, seharusnya semua pihak di Tanah Papua dan Indonesia memberikan dukungan penuh kepada KOMNAS HAM Republik Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai amanat aturan perundangan yang berlaku, khususnya UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Mereka diharapkan dapat menyelidiki dan mengungkapkan siapa sesungguhnya yang seharusnya bertanggung-jawab terhadap kematian tragis 4 (empat) orang pelajar Orang Asli Papua asal Kabupaten Paniai jelang perayaan Natal tahun 2014 tersebut dan membawa para pelakunya ke depan pengadilan HAM di Tanah Papua.
SUMBER=http://www.satuharapan.com/

Gereja-gereja Pasifik: Bawa Papua ke Komite Dekolonisasi PBB

Ilustrasi: umat Kristen gereja Protestant church tiij France di French Polynesia' (Foto: AFP/ Valerie Macon)
AUCKLAND, Kabar Amugi Kibah- Gereja-gereja Protestan yang tergabung dalam Pacific Conferences of Churches (PCC) belum lama ini mengadakan pertemuan di kantor sekretariatnya di Auckland, Selandia Baru. Dalam pertemuan itu, dibahas sejumlah isu, seperti isu pelanggaran HAM Papua, perubahan iklim, serta nasib pengujian nuklir dan militerisasi di Pasifik.
Kepada radionz.com, yang melaporkan pertemuan itu hari ini, Sekretaris Jenderal PCC, Francois Pihaatae, mengatakan ia mengharapkan suara gereja tidak dianggap remeh karena gereja membawa suara umat.
"Ketika berbicara, mereka tidak hanya sebagai gereja, mereka juga sebagai umat. Karena sebagian besar waktu umat bersama kami. Kami tidak bisa mengabaikan kesatuan umat di akar rumput karena mereka memiliki kekuasaan untuk berbicara," kata Pihaatae.
Terkait isu Papua,  Pihaatae, mengatakan dewasa ini kelompok-kelompok gereja lebih bersatu dalam menekan para pemimpin politik untuk berbicara. Misalnya, ia mengatakan untuk pertama kalinya sejak didirikan 20 tahun yang lalu, Papua New Guinea Council of Churches juga bergabung  untuk mendukung agar masalah Papua dibawa ke Komite Dekolonisasi PBB.
Lebih jauh, ia mengatakan anggota dewan gereja di Papua Nugini menginginkan agar pemerintah Indonesia  mengakhiri apa yang disebut sebagai genosida di Papua.
"Menyerukan kepada Indonesia untuk menghentikan pembunuhan (orang Papua). Itulah satu-satunya prioritas pertama bagi kami untuk meminta militer dan kepolisian Indonesia  atau apa pun yang mereka gunakan untuk membunuh. Mereka (orang Papua) bukan binatang, mereka adalah manusia seperti mereka, orang Indonesia," kata Pihaatae.
"Kedua,  yang kami coba lakukan adalah untuk mengangkat isu Papua  pada daftar dekolonisasi. Agar mereka menikmati kemerdekaan seperti negara-negara Pasifik merdeka lainnya," kata dia.
Ia menambahkan, PCC mengikutsertakan gereja-gereja di Papua dan berharap mereka mengetahui bahwa mereka tidak sendirian.
"Sekarang ini ada dua gereja di Papua yang telah menjadi anggota dan kami akan menyambut dua anggota baru lagi tahun depan. Jadi itu berarti bahwa melalui tindakan kita, kita berusaha untuk membawa orang-orang Papua pulang ke rumahnya."
Dalam pertemuan tersebut, masalah-masalah lain juga dibahas. Termasuk dampak dari ekstraksi sumber daya pada lingkungan, penyakit menular dan peran gereja dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan.
Dalam presentasinya, Francois Pihaatae juga menunjukkan fakta sejarah dimana gereja memegang peran kunci di kawasan Pasifik. Ia mengingatkan bahwa dulu gereja-gereja Protestan di French Polynesia pernah mengadukan Prancis ke International Criminal Court atas dampak dari pengujian nuklir di wilayah mereka. Ia menambahkan, pemimpin gereja memegang kunci dalam mengakhiri pengujian nuklir di wilayah itu pada 1996.
Dia mengatakan contoh ini menunjukkan bahwa apabila  memiliki kesatuan suara, gereja akan menjadi kekuatan yang tidak dapat diremehkan.
Pihaatae mengatakan PCC akan terus membawa umat Pasifik bersama-sama untuk memperjuangkan keadilan dan perdamaian untuk melindungi masa depan kolektif mereka.
 SUMBER =   radionz.com,
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. AMUGI KIBAH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger