Headlines News :
Home » » JOKOWI MAU BAWA PAPUA KE MANA?

JOKOWI MAU BAWA PAPUA KE MANA?

Written By Unknown on Senin, 26 Januari 2015 | 06.46.00



MENCARI SOLUSI PAPUA - Diskusi Awal Tahun bertemakan "Mencari Solusi Papua, yang Adil dan Bermartabat" di kantor Sinar Harapan, Jakarta, Kamis (15/1). Hadir dalam diskusi bersama SH seperti Wakil Ketua Majelis Pertimbangan PGI Phil Erari, Senior Advisor PT Freeport Indonesia Simon Morin Manuel Kaisiepo, dan anggota DPR, Paskalis Kosai.

Jokowi harus realisasikan janji membangun Istana Presiden di dekat Danau Sentani yang bercorak budaya Melanesia.
Setelah 52 tahun menjadi bagian dari Indonesia, masyarakat Papua belum mencapai peningkatan taraf hidup yang berarti. Kemiskinan, buruknya pendidikan dan kesehatan, serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bertubi-tubi, menjadi wajah Papua saat ini.
Kemunculan Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden ketujuh RI, dengan gayanya yang simpatik, diharapkan membawa perubahan, mampu membangun rasa saling percaya warga Papua dengan pemerintah pusat di Jakarta. Rasa percaya ini yang sudah semakin hilang dari orang asli Papua terhadap Jakarta.

Rohaniwan Papua, Benny Giay, dalam perbincangan dengan SH mengatakan, rasa tidak percaya itu terbangun lantaran kekecewaan yang terus-menerus dari orang asli Papua. Bertahun-tahun orang di Papua diberikan janji dan janji, namun tidak ada yang terwujud.

Otonomi khusus yang terbit di era Presiden Megawati Soakarnoputri, misalnya, dibayangkan sebagai solusi, ternyata gagal. Berbagai lembaga dibentuk di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seperti UP4B, tapi gagal juga. Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Wolas Krenak mengatakan, setiap ada program baru yang datang dari Jakarta ditanggapi curiga dengan ungkapan bernada gurau oleh warga Papua. “Ko bawa datang apa lagi? He ko stop tipu-tipu sudah!” 

Hanya Soekarno
Sebaliknya, stigma dan stereotip sebagai separatis terus dilekatkan kepada orang Papua. Dengan mudahnya orang Papua yang vokal menuntut haknya, orang Papua yang berkumpul membicarakan nasibnya, dicap sebagai separatis. Atas nama separatis, ratusan pemuda berakhir hidup di ujung peluru. Stigma ini membuat aparat keamanan kerap memberi jawaban terhadap protes orang Papua dengan senjata.
“Bahkan, kalau anggota MRP bicara, bisa dibilang separatis,” kata Wakil Ketua MRP Ani Sabami. Politikus senior Partai Golkar asal Papua, Simon Patrice Morin mengatakan, pada masa awal bergabung dengan Indonesia tahun 1963, Papua sangat diperhatikan oleh Presiden Soekarno.
Presiden pertama Indonesia itu memberi apa pun yang dibutuhkan Papua. Ia sadar bahwa Papua butuh penyesuaian agar sama kemajuannya dengan daerah lain. Ratusan pemuda asli Papua disekolahkan di pusat-pusat pendidikan di Pulau Jawa. Bung Karno juga membangun mes atau asrama khusus agar orang Papua yang datang ke Jawa, tidak kesulitan mencari tempat tinggal. Ada kebijakan karantina politik untuk membatasi pendatang masuk ke Papua. Bahkan, dibuat mata uang khusus rupiah Papua. “Itu masa-masa bulan madu Papua dengan NKRI,” tuturnya.
Namun, keadaaan mulai berubah saat pemerintahan Presiden Soeharto. Dimulai pada masa menjelang penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969. Selanjutnya, Soeharto merasa perlu melakukan pendekatan keamanan dalam upaya memenangkan Papua. Masyarakat Papua sempat berpikir pendekatan keamanan selesai setelah pepera, nyatanya tidak sama sekali. Malah makin menjadi-jadi.
Demi membangun ekonomi, arus modal masuk, pendekatan keamanan dilakukan agar tetap stabil. Namun Soeharto, kata Morin, tidak mempersiapkan cara bagaimana orang Papua harus menghadapi perubahan. Bukan itu saja, arus pendatang masuk dengan program transmigrasi. “Sejarah berulang. Dulu Jawa menolak Belanda karena pembangunan yang justru menjadikan orang Jawa terasing di negerinya. Sekarang, Papua juga merasa pembangunan ini tidak tepat,” ujar Morin.

Terobosan Kosong
Setelah Soeharto jatuh, Presiden BJ Habibie membuat terobosan. Wakil Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Karel Phil Erari mengatakan pada 1999, BJ Habibie mengundang 100 tokoh Papua berdialog di Istana Merdeka, Jakarta. “Itu pertemuan bersejarah, untuk pertama kalinya orang Papua datang ke Istana Negara, minta Papua merdeka,” katanya.
Berikutnya, pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk pertama kalinya nama Papua boleh digunakan secara resmi. Gus Dur mengundang sejumlah tokoh Papua termasuk dirinya, Michael Manufandu, Simon Patrice Morin, dan Lukas Degey. “Gus Dur bilang ‘Kalian boleh minta apa pun kecuali melepaskan diri,” kenangnya. 
Kemudian muncullah UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Megawati juga memekarkan Papua, muncul Provinsi Papua Barat. Ada dana khusus untuk Papua, yang seolah-olah menjadi “maskawin” agar Papua tidak lepas dari NKRI. Setelah hampir satu dekade, rakyat Papua menilai otsus dari Megawati itu juga gagal total. 
Dalam pertemuan dengan Presiden SBY di Cikeas, Bogor, empat tokoh Papua didampingi PGI mengkritik pemerintah pusat. Benny Giay menyatakan kepada SBY bahwa Indonesia sendiri yang telah melahirkan benih separatis di Papua. Aktivis dan rohaniwan Socrates Yoman menyatakan, 120 persen rakyat Papua ingin merdeka. Tokoh perempuan Papua, Yemima Krey, dalam pertemuan itu mengatakan kegagalan pemerintah sudah sempurna.
SBY mengklaim melakukan pendekatan kesejahteraan kepada masyarakat Papua, bukan pendekatan keamanan. Sayang, semua hanya omong kosong. Fakta di lapangan menunjukkan pembunuhan, penembakan, dan kekerasan lainnya terus terjadi. Kualitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur justru makin memburuk. Triliunan rupiah dana otsus hanya sebutannya saja bagi orang Papua, tetapi faktanya dana itu habis digunakan oleh pemerintah di Jakarta.

Apa Jualan Jokowi?
Jokowi pada pemilu lalu mampu meraih hati orang Papua. Ia menang telak di Tanah Papua sehingga harapan ada perubahan diharapkan akan ada. Apalagi sudah menyampaikan minimal tiga kali dalam satu tahun mengunjungi Papua. Menurut Phil Erari, tugas pertama Jokowi adalah membangun kembali trust (kepercayaan) orang Papua terhadap Indonesia.
Karena itu, Jokowi segera menginisiasi pembicaraan dengan wakil-wakil komponen rakyat Papua dengan agenda membangun kepercayaan dengan pendekatan kebudayaan. Ada kebijakan strategis yang bisa dilakukan Jokowi. Misalnya, mendorong kebiajakan afirmatif melalui Perda Khusus (Perdasus) untuk membatasi laju migrasi penduduk yang deras dari luar Papua. Hal ini dalam rangka keseimbangan demografi.
Selain itu, melakukan reformasi militer dan kepolisian dalam rangka penghentian kekerasan militer. “Wajah Indonesia ada di dalam wajah para tentara harus berubah,” ia menegaskan. Dengan demikian, stigma separatisme dihapus. Jokowi juga harus bisa menunjukkan keseriusan dengan membangun Istana Presiden di Papua dengan lokasi di Danau Sentani yang bercorak Melanesia.
Akhirnya, masyarakat Papua masih menginginkan adanya bendera Papua sebagai simbol budaya. Karena itu, Jokowi juga harus laksanakan amanat Gus Dur dulu, mengeluarkan perpres soal bendera Papua sebagai lambang budaya. Monggo, Mas Joko! 
Share this post :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. AMUGI KIBAH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger