JAKARTA - Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti, menyatakan hukuman mati merupakan produk hukum masa lampau dan merupakan produk kekejaman. Hukuman mati dilaksanakan berlandaskan azas pembalasan dendam yang diyakini mampu menyelesaikan masalah.
“KUHP kita warisan penjajah Belanda 1918. Ketika Indonesia merdeka, itu diadopsi dalam undang-undang dan disesuaikan dengan posisi Indonesia. Sayangnya pemerintah enggak pernah serius mengubah pasal tersebut (hukuman mati,red). Kita sayangkan kenapa enggak pernah memandang hukuman mati itu hukuman yang kejam,” kata Poengky di Jakarta, Senin (19/1).
Karena masih menerapkan hukuman mati, kata Poengky, Indonesia tidak layak disebut sebagai negara demokrasi. Apalagi bertahan duduk sebagai anggota Dewan HAM PBB.
Pemerintah menurutnya, harus meratifikasi pasal hukuman mati terlebih dahulu, sebelum dengan bangga menyebut diri pemerintahan yang demokratis. “Pemerintah enggak pernah serius tangani kasus narkotika, bandar besar dibacking oknum aparat. Kemudian ada satu container berisi narkotika dikawal oknum aparat, aparatnya bebas.
Demikian juga kasus Cebongan, itu sampai saat ini enggak diungkap kasusnya seperti apa. Padahal di situ ada oknum yang di-backing oknum aparat lain,” katanya.
Poengky menilai, peredaran narkotika hanya bisa ditekan jika pemerintah menerapkan aturan hukum secara bersih, berwibawa dan manusiawi. Karena itu sebagai langkah pertama, ratifikasi hukuman mati harus segera dilakukan.
“Kita kan sudah ratifikasi konvensi sistem politik, dan juga anti penyiksaan. Penghapusan hukuman mati harus dilakukan karena merampas hak untuk hiduip. Penerapan hukum enggak boleh kejam. Itu kontradiktif dengan hukum kita. Maka hukuman mati harus dihapus,
karena 140 negara di dunia sudah hapus hukuman mati,” katanya.
(gir/jpnn)
Sebut RI Tak Layak sebagai Anggota Dewan HAM PBB
Written By Unknown on Selasa, 20 Januari 2015 | 21.47.00
Label:
POLHUKAM