Headlines News :
Home » » Intan Jaya: Rakyat Menderita, Pemerintah Senang

Intan Jaya: Rakyat Menderita, Pemerintah Senang

Written By Unknown on Jumat, 06 Februari 2015 | 19.36.00



Kisah Nyata di Bilogai Kabupaten Intan Jaya, Papua

Saya berada di kabupaten di Bilogai beberapa waktu lalu. Ketika itu, saya melihat ada banyak masalah penderitaan kemiskinan yang dialami oleh masyarakat. Tetapi di lain pihak, khususnya pemerintah di daerah ini malah bersenang-senang atas kelimpahannya. Jadi, rakyatnya menderita sementara pemerintah bersikap senang melihat masyarakatnya menderita. 

Ini kisah nyata penderitaan masyarakat di kabupaten Intan Jaya di Papua.

*** 
Sebagian warga merasa senang atas pemberian Otonomi Khusus (Otsus). Namun sebagian masyarakat tidak. Mereka berpikir bahwa dalam Otsus, akan ada banyak penderitaan. Bagaimana mereka bisa mengetahui itu? 

Pemerintah Kabupaten Intan Jaya merupakan pihak yang sangat senang dan gembira menyambutnya Otsus ini. Dengan alasan bahwa mereka bisa makan dan minum dari Otsus ini. Mereka lebih senang-senang dengan adanya Otsus. Belum lagi persoalan aparat keamanan yang semakin menindas dan menakuti rakyat kecil di kabupaten Intan Jaya. 

Ketika melihat dan mendengarkan berbagai cerita dan diskusi dari rakyat pada saya, ternyata banyak persoalan akibat ulah aparat keamanan (Polri/Brimob, TNI dan jajaran aparat keamanan lainnya).  Terutama Brimob. Mereka menakuti warga dengan senjata. 

Di lain kesempatan, masyarakat juga menceritakan banyak persoalan mengenai sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan di kota ini. Keluhan masyarakat itu memperlihatkan bahwa mereka merasa disudutkan dari pelayanan pemerintah yang seharusnya dibuat sesegera mungkin. Tetapi pemerintah daerah tidak melihat suasana masyarakat yang sebenarnya. Mungkin pemerintah daerah ini, buta melihat dan tuli mendengarkannya, sehingga pelayanan pendidikan dan kesehatan tidak terlaksana mulai dari pusat kota kabupaten sampai distrik dan kampung-kampung.

Minimnya Sarana dan Prasarana


Ketika tiba di kota Bilogai, saya melihat suasana yang damai dan indah. Bagaikan surga kedua. Apalagi udara yang sejuk dan dingin, segar, yang memberi semangat bagi siapa saja yang berada di kota ini. Mungkin hanya bagi sebagian kecil orang saja, tidak suka udara yang dingin dan curah hujan ini. Saya senang ada di tengah masyarakat yang sederhana dan tulus hatinya.

Karena faktor-faktor yang tidak saya ketahui, mungkin ketidaksenangan terhadap masyarakat dan  kurangnya komitmen untuk merubah pendidikan dan kesehatan masyarakat, saya melihat, masyarakat mengalami tidak terlayani oleh pihak pemerintah daerah di kota ini. Apalagi di daerah-daerah di Intan Jaya ini.

Ada rumah sakit di Bilogai dengan fasilitas dua ruangan kamar inap dengan masing-masing 4 tempat tidur untuk pasien. Rumah sakit pusat kota Bilogai tidak punya kamar mandi dan tempat membuang kotoran kecil atau pun besar. 

Pasien yang sedang rawat ketika ingin membuang air besar atau kecil menahan saja di tempat tidur ruang inap. Rumah sakit ini kurang memiliki tenaga medis, sehingga pelayanan kurang maksimal. Ini karena sarana dan prasarana rumah sakit tidak diperhatikan oleh pemerintah setempat, sehingga para petugas medis juga tidak betah bertahan untuk menjalankan tugas pelayanan kesehatan masyarakatnya. 

Saya menilai bahwa bupati dan DPRD jalan masing-masing karena pemerintah daerah tidak saling ketemu dan bertolak belakang dengan program yang dibuat oleh Kepala Dinas Kesehatan, mungkin begitu juga kepala dinas lain di kabupaten ini. Saya memang tidak memahami. Maaf.

Kualitas pendidikan sudah pasti merosot di daerah ini. Mengapa? Ini alasannya. Guru-guru yang lama dilantik menjadi pejabat di kantor-kantor, sehingga tenaga pengajar sangat minim. Ada banyak sekolah yang gurunya tidak ada, walau ada gedung sekolah.

Saya melihat di kampung-kampung, berdiri gedung-gedung sekolah, tetapi masyarakat setempat berkata pada saya bahwa gurunya hanya 1-3 orang. Padahal kebanyakan sekolahnya berkelas enam. Ada banyak anak SD yang tidak belajar baik, itu sudah pasti.

Pemerintah tidak mempersiapkan sarana peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat setempat. Satu-satunya sarana yang dipakai masyarakat di kota Bilogai adalah motor alias ojek. Mereka menggunakan motor sebagai sarana untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya dan keluarganya. 

Ketika masyarakat sakit, sarana yang digunakan untuk sampai pada rumah sakit di pusat kota adalah motor alias ojek. Begitu pun masyarakat saat berjualan bahan sumber alamnya, gunakan jasa ojek, dengan harga 60 ribu rupiah. Itu bila jaraknya dekat. Tarif maksimumnya sampai 600 ribu. Jadi, untuk usaha warga, karena transportasi, hasil bisnis dari hasil alam oleh masyarakat cukup untuk para pengojek saja. 

Saat ini saat yang tepat untuk bermimpi, bilamana semua jalan beraspal dan mobil atau bus pengangkut bahan hasil alam dari kampung-kampung di kabupaten ini disediakan pemerintah dengan tafir rendah, sehingga membantu merangsang ekonomi rakyat, walau dari hasil alam. Sudah saatnya pemerintah mengakui bahwa sumber daya ekonomi satu-satunya dari masyarakat adalah dari hasil alam dan sumber usaha kerja ternak mereka. 

Saya menilai, masyarakat di sini dibiarkan menderita dan miskin di tanahnya sendiri. Entah sengaja atau tidak, pemerintah daerah sedang membiarkan masyarakatnya tanpa merangsang ekonomi kerakyatan mereka agar lebih maju melalui usaha berjualan "Noamaia" di pusat kota Bilogai. 

Penderitaan Rakyat

Suatu saat, saya berjumpa dengan seorang warga masyarakat setempat di tengah jalan Bilogai menuju Titigi. Dia asli Intan Jaya. Dia orangnya sangat baik dan tulus hati. Dia berkata bahwa. "Sampai saat ini kami sedang menderita dengan selalu berjalan kaki."

Tiap hari mereka jalan kaki ke kota, juga pulang ke kampung. Mereka sambil memikul beban berat berbagai barang jualan. Hasil alam yang hendak dijualnya. "Selama ini kami sudah sangat capek dan sakit-sakitan. Lihat saja ini, pemerintah sudah buat jalan transportasi darat, tetapi mereka belum mengaspal jalan," ceritanya. 

Orang tua itu berkata lagi, "Kami sudah menderita sangat lama. Penderitaan kami tidak pernah dipandang oleh para pejabat kabupaten ini. Mereka buat laporan-laporan palsu ke badan pemeriksaan keuangan (BPK) dan ke KPK. Padahal kegiatan program pemerintah untuk masyarakat di kabupaten ini belum pernah ada. Dana-dana telah dimakan habis oleh para pejabat. Mereka tidak membuat program untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat di kota".

Para pejabat jalan masing-masing sesuai kepentingannya. Berbagai program dari SKPD tidak dijalankan di tengah masyarakat. Kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi mati suri. Dan masyarakat hanya terima dana Respek dan BBM, kemudian dananya dibayar untuk kendaraan motor ojek pulang pergi dan berbagai bahan dasar hidup di kios milik pendatang di Yokatapa, Bilogai. 

Pemerintah kabupaten melalui Kepala Dinas Sosial memberikan dana bantuan kepada seluruh rakyat dari kabupaten ini. Bantuan sosial ini diberikan kepada setiap orang begitu saja, sesuai dengan proposalnya yang dimasukkan sebelumnya. Senin 22 Desember 2014, pemerintah memberikan bantuan sosial kepada masyarakat di kabupaten ini. 

Akibatnya, kegiatan gereja dan berbagai persiapan Natal dan lainnya tersendat. Masyarakat semua jalan naik ke Bilogai. Rumah-rumah tampak kosong, tidak ada orang. Semua maunya ke ibu kota Bilogai dan bersenang-senang dengan dana bantuan tersebut. Tidak mau pikir duduk dan kerja untuk persiapkan Natal 2014 dan Tahun Baru 2015. 

Saya lihat rakyat kabupaten ini mulai belajar ketergantungan dari pemerintahnya sendiri. Mereka diajari menerima uang tanpa kerja dan usaha. Ini bahaya karena menciptakan budaya malas. Di sini ketika kita belajar dari pengalaman ini bahwa pemerintah berusaha bukan lagi untuk memberdayakan masyarakat agar mandiri dan kerja, tetapi sudah mulai mematikan daya dan mental kerja orang Migani, orang Dauwa, dan orang Ndani. 

Sayup-sayup, warga yang sadar, kepada saya sering berkomentar, sebaiknya kembalikan kabupaten ini ke pusat saja daripada rakyat menjadi korban dan menderita, dan para  pejabat bersenang-senang atas segala kelimpahannya, dan sama-sama tidak berpikir memanfaatkan kekuasaan, peluang, dari kedudukan, jabatan, regulasi dll yang ada untuk membangun hidup yang lebih baik.

*** 
Hati pasti sakit
 dan terasa memilukan sekali melihat semua itu. Saya berhenti sebentar dari kegiatan dan berpikir bahwa ternyata pada saat rakyat menderita, pemerintah seperti lebih senang. Membiarkan penderitaan itu. Mengantisipasi penderitaan dengan cara tidak pas, yang pada saatnya membangun budaya malas dan membunuh etos kerja orang Intan Jaya.

Otsus yang mestinya digunakan untuk memajukan kesejahteraan ekonomi masyarakat justru direalisasikan dengan cara yang agak mengambang, yang justru mempertebal ketergantungan pada pemerintah pusat melalui daerah. Semua kenyataan ini memperlihatkan bahwa masyarakatnya hidup dalam keterpurukan kemiskinan dan penderitaan tanpa kemajuan apa-apa dari berbagai program pemerintah di kabupaten ini. 

Saya mendesak kepada pemerintah kabupaten ini untuk sadar, melihat realita bekerja sama untuk  membangun daerah ini. Pemerintah punya kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan umum warganya. Bukan untuk bupati jalan sendiri. Bukan untuk DPRD sendiri. Bukan karena keterpecahan dalam tubuh birokrasi, pemerintah, DPRD, SKPD, dll membuat pembangunan macet. 

Kabupaten lain telah jauh melangkah. Bila semangat kita seperti ini, maka yang terjadi adalah rakyat menderita. Saya berharap semoga ada kerja sama di antara bupati, DPRD, dan semua SKPD kabupaten ini, demi hidup bersama rakyat Intan Jaya untuk lebih baik lagi. Amakanie....

Penulis adalah Petugas Pastoral Keuskupan Timika, Papua.
Share this post :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. AMUGI KIBAH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger