kabar amugikibah--Kasus Kehamilan di tanah papua setiap bulan melahirkan
kekerasan atau pelanggaran Ham yg begitu cepat tumbuh di alam bumi papua. Tidak
pernah ada penyembuhan soal kekerasan ini, hanya degan metode kemunafikan yang
menghampiri orang papua dengan tawaran-tawaran manis berupa jabtan, proyek
bahkan membrikan bantuan uang milyaran rupiah itupun buat orang-orang tertentu
saja.
kasus yang saat ini
belum diselesaikan oleh para mafia hukum di negara ini yaitu kasus Paniai, 8
desember 2014, "TNI dan Polri yang Menembak mati 4 Siswa SMU" belum
tuntas..... Konflik sosial dipapua selalu mengantung kompleksitas permasalahan. Karena itu berbagai pendekatan dapat digunakan untuk menelaah konflik sosial dipapua guna mendapatkan berbagai arternatif pemecaan masalah yang terjadi di papua. Salah satu pendekatan yang harus dapat digunakan untuk menelaah konflik sosial adalah penegakkan hukum sesuai aturan yang berlaku di Negara Republik Indonesia dan sosiologi komunikasi antara pemerinta pusat dengan masyarakat kecil dipapua.
Pendekatan hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Negara Indonesia , sepertinya undang-undang RI No 7 tahun 2012 tentang penanganan konflik, peraturan menteri dalam negeri Republik Indonesia No, 42 tahun 2015, undang-nudang HAM, undang-undang Otonomi khusus No 21 tahun 2001 dan undang-undang dasar 1945……
Penanganan Konflik Sosial dipapua memberikan kewenangan kepada Menteri untuk mengoordinasikan penanganan konflik sosial yang terjadi dipapua, ini merupakan program strategis nasional. mendukung penanganan konflik sosial, perlu adanya peningkatan efektifitas, keterpaduan, dan sinergi dalam pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik yang terjadi setiap tahun dipapua ini melalui sistem koordinasi yang terpadu di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten.
Pendekatan sosiologi komunikasi relevan digunakan untuk menelaah kasus pelanggaran yang terjadi dipapua. Selain itu menurut Soerjono Soekanto, sosiologi komunikasi merupakan kekhususan sosiologi dalam mempelajari interaksi sosial yaitu hubungan atau komunikasi yang menimbulkan proses saling pengaruh mempengaruhi antar individu, individu dengan kelompok maupun antar kelompok. Konflik yang terjadi dipapua pada dasarnya merupakan konflik yang terjadi dua kelompok yaitu pemerintah pusat dengan orang papua diawali dengan, ketidak adilan dan ketidak percayaan kepada pemerintah pusat, pelanggaran Hak asasi manusia, dan sejarah.
Ketidak adilan dan ketidak percayaan kepada pemerintah pusat karena Rakyat Papua menyadari sungguh bahwa mereka tidak pernah diakui sebagai warga negara Indonesia selama 53 tahun berjalan. Terbukti sejak tahun 1969 sampai dengan sekarang semua kebijakan selalu di-backup oleh militer, sehingga terjadi marjinalisasi dan diskriminasi dalam berbagai aspek pembangunan di seluruh tanah Papua, mengalami penyiksaan pembunuhan penganiayaan terhadap rakyat sipil papua.
Banyak peristiwa pelanggaran Hak asasi manusia yang ada disana, seperti pemberlakuan DOM yang dilancarkan sejak: Operasi Naga yang kemudian diganti menjadi Operasi Djayawijaya dipimpin oleh Kapten Infantri Benny Moerdani pada tahun 1963 mulai dengan, Operasi Sadar pada tahun 1965 di bawah pimpinan Pangdam Tjenderawasih R. Kartidjo, Operasi Baratha Yudha 1966-1967 dipimpin oleh Brigjen R.Bintoro, Operasi Wibawa tahun 1969 dipimpin oleh Pangdam Sarwo Edi, Operasi Pamungkas tahun 1971 di Biak dipimpin oleh Dandim Biak Mayor R.A Hendrik dan Mayor Puspito serta di Manokwari dipimpin oleh Mayor Ahmad dan dilanjutkan oleh Letkol S.Mardjan, Operasi Koteka pada april-juni tahun 1977 adalah operasi TNI yang terburuk dan memakan korban terbanyak dipimpin oleh Pangdam Tjenderawasih Brigjen Imam Munandar, Operasi Senyum pada tahun 1977-1978 oleh Jenderal M. Yusuf, Operasi Gagak I pada tahun 1985-1986 dipimpin oleh Pangdam Mayjen H.Simanjuntak, Operasi Gagak II pada tahun 1986-1987 oleh Pangdam Mayjen Setiana, Operasi Kasuari 01 pada tahun 1987-1988 dipimpin oleh Pangdam Trikora Mayjen Wismoyo Arismunandar, Operasi Kasuari 02 pada tahun 1988-1989 oleh Pangdam Trikora Mayjen Wismoyo Arismunandar, Operasi Rajawali 01 pada tahun 1989-1990 oleh Pangdam Trikora Mayjen Abinowo serta, Operasi Rajawali 02 pada tahun 1990-1991 oleh Pangdam Mayjen Abinowo.
Bahwa sekalipun DOM telah dicabut pada akhir dekade 90-an namun sampai saat ini perampasan hak ulayat, penahanan tanpa mengikuti proses dan prosedur hukum yang semestinya, penculikan dan pembunuhan baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi masih terus terjadi di Papua,pelanggaran HAM telah terjadi dalam setiap aspek kehidupan Orang Asli Papua. Sepertinya paniai berdara menewaskan empat siswa SMA dan SMP menewaskan pada 8 desember 2014, penangapan dan penyiksaan 264 orang terhadap organisasi masyarakat (KNPB) komite nasional papua barat pada tanggal 1 mei 2015.
Sejarah konflik yang terjadi di Provinsi Papua khususnya pemerintahan daerahnya, dimulai sejak Pemerintah Belanda secara resmi melepaskan daerah jajahannya kepada pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1948 melalui Perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB). namun tetap mempertahankan jajahannya terhadap New Guinea Barat.
Daerah New Guinea Barat yang dimaksudkan dalam perjanjian itulah yang kemudian dinamakan Irian Jaya dan sekarang disebut Papua. Dalam perjanjian itu, tercantum klausula bahwa; “Mengenai status New Guinea akan ditentukan melalui negoisasi” antara Indonesia dan Belanda dalam jangka 1 tahun masa transisi kepemilikan wilayah. Artinya, status Papua yang masih menunggu negosiasi selanjutnya ini menempatkan Papua dalam kondisi yang masih kurang menentu Sejarah Pemerintahan dan Regulasi Pengibaran inilah yang dianggap sebagai tonggak proklamasi Papua Merdeka, yakni pada tanggal 1 November 1961. Status ini menjadi semakin tidak menentu setelah pihak Amerika Serikat mendesak pengalihan Papua dengan jalan memfasilitasi perjanjian pengalihan otoritas secara administrative Papua, dari Belanda ke PBB. Di dalam Pasal 18 yang tertera diPerjanjian New York (New York Agreement) pada tanggal 15 Agustus 1962, tertulis “Indonesia akan mengatur segala hal dengan bantuan dan partisipasi PBB memberikan kesempatan kepada Papua untuk memilih apakah menginginkan menjadi negara bagian Indonesia atau tidak”. Dengan kata lain, yang dicantumkan dalam dokumen itu adalah bagaimana melaksanakan penentuan pendapat bagi rakyat Papua yang disebut dengan The Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Metode yang dilaksanakan pada Pepera ini adalah melalui bentuk pengambilan suara dengan sistem delegasi yang telah ditentukan. Hasilnya, para delegasi terpilih memutuskan secara aklamasi untuk bergabung dengan Republik pada tanggal 15 Agustus 1969. The Act of Free Choice diterima oleh Sidang Umum PBB dan Papua yang diubah namanya sebagai Irian Barat, serta secara resmi menjadi provinsi ke-27 dari Indonesia pada tanggal 19 November 1969.
Tidak dapat dipungkiri, hasil ini menjadi sumber yang mendukung terjadinya konflik dengan wajah lain, yakni konflik yang merupakan manifestasi dari protes banyak kelompok yang menganggap bahwa pelaksanaan Pepera tersebut telah cacat secara hukum. Sistem yang dibangun sebagai mekanisme pelaksanaan Pepera menurut pendapat mereka sangat tidak fair, dan bertentangan dengan prinsip internasional yang menerapkan one man one vote.
Sejak penerimaan resmi melalui pengesahan Resolusi PBB tersebut, maka secara resmi pula pemerintahan provinsi di Irian Barat berpindah tangan kepada Pemerintah Indonesia yang mengadakan beberapa regulasi awal yang ditentukan oleh pemerintah pusat terhadap provinsi tersebut.
Secara langsung, melalui UU No. 12 tahun 1969, dilakukan pembentukan provinsi Bangkitnya perasaan nasionalisme Papua dan pola pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, makin memperuncing konflik yang terjadi disana. Termasuk diantaranya bagaimana pemerintah pusat melakukan kontrak karya dengan PT. Freeport. Kontrak karya yang digagas pada tahun 1967 itu ikut memupuk kecemburuan sosial yang terjadi karena proses-proses pemberian sumber daya alam Papua kepada PT. Freeport Indonesia. Hal yang alih-alih memberdayakan masyarakat Papua, tetapi makin meramaikan peta konflik dengan hadirnya wajah baru dari kekerasan negara kebijakan negara di bumi papua.
Presiden jokowi harus melihat kasuss yg mendasar, bukan soal
kesejahtraan dan pembagunan yang di butuhkan oleh org papua, tetapi ketidak
adilan dari negara republik indonesia terhadap manusia papua yang menyebabkan. Manusia papua bangsa malanesia ingin melepskan diri dari
Indonesia berdsarkan ribuan Pelanggaran Ham di bumi papua dan didukung oleh
manipulasi sejarah papua lewat seorang diplomat amerika serika Esworth Bunker
yang disebut newyork Agreemen melalui UNTEA, ketika UNTEA berkuasa di West
Papua 1 Oktober 1962 - 1 Mei 1963.
Semua Administration dicabut lalu digantikan Administration
UNTEA kecuali Mata Uang Nieuw Guinea Guilden.