Indonesia harus meratifikasi Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional (SRPKI) agar semua kekejaman militer dan kejahatan negara Indonesia terhadap rakyat Papua Barat dituntaskan melalui jalur hukum kriminal dunia, bukan jalur hukum negara Indonesia.
Pertemuan 2012 di mana 76 negara mengkritik rekor buruk HAM Indonesia dan menyarankan agar salah satu point Universal Periodic Review (UPR) yang harus diratifikasi adalah SRPKI, dimana hal ini sangat obyektif. Melalui surat balasan Pemerintah Australia kepada presiden FIPB tertangal 29 April 2013 dan juga 2014 bahwa negaranya telah merekomendasikan serta akan memperjuangkan hingga Indonesia benar-benar meratifikasi SRPKI tersebut.
Posisi pemerintah Australia terhadap konflik Papua nyatanya telah mendukung prinsip-prinsip HAM dan kemanusiaan. Rakyat Papua Barat akan terus mendesak Australia agar Australia membayar kembali utang orang Papua Barat melalui perhentian hubungan militer dengan Indonesia dan mendukung hak penentuan sendiri bagi Papua Barat serta mendesak Indonesia agar menandatangani SRPKI tahun ini.
Australia saat ini sedang memonitor kasus penembakan di Paniai yang menewaskan 5 anak sekolah dan lainnya luka parah. Sementara, Selandia Baru berkomitmen akan memutuskan hubungan militer.
Melihat surat balasan singkat Pemerintah Australia tertanggal 5 Januari 2015 bahwa semua pandangan dan rekomendasi dicatat dan semuanya itu penting (lampiran surat korespondensi di antara Pemerintah Australia dan FIPB silahkan di lihat pada lembaran selanjutnya).
Semua elemen yang memperjuangkan HAM harus mendesak Presiden Jokowi agar dapat menandatangani SRPKI untuk menjamin hukum HAM di Papua Barat sebelum dialog diwujudkan. Tensi konflik di Papua Barat dari hari ke hari semakin bertambah dan telah menunjukan darurat kemanusiaan.
Beberapa contoh tensi konflik ini adalah sebagai berikut: berlangsungnya perang bersenjata selama 54 tahun dan sampai saat ini pun belum berhenti, terjadi peningkatan kriminalitas perang, perluasan pembunuhan tanpa beralasan hukum dan berbagai praktek pembantaian manusia ras Melanesia menjadi nyata melalui berbagai cara.
Bukti-bukti laporan pelanggaran HAM dan dukungan dari komunitas dunia yakni Pelapor Khusus PBB, 76 negara, dan ratusan lembaga non-pemerintah termasuk lembaga-lembaga HAM di PBB semakin kuat. Semua persoalan ini telah memenuhi kriteria standar ukuran HAM internasional. Oleh karena itu, KOMNAS HAM di Jakarta harus memperkuat laporan-laporan kriminal perang di Papua Barat dan merekomendasikan kepada presiden agar secepatnya meratifikasi SRPKI.
Dunia sedang menyaksikan perang bersenjata yang terjadi di beberapa daerah konflik seperti PuncakJaya, Timika, Paniai dan perbatasan PNG-RI sebagai bukti beberapa tahun terakhir ini.
Menurut definisi hukum perang, perang bersenjata non-internasional atau non-international armed war perlu mendapat perlindungan di bawah hukum perang, karena militer Indonesia dan Militer Papua Barat yang memperjuangkan kemerdekaan sejak 1961 telah berlaku sebagai kombatan (kelompok lawan perang) tanpa membunuh dan menghancurkan masyarakat sipil maupun harta benda.
Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa militer Indonesia banyak membunuh dan menembak mati warga setempat yang diduga TPN/OPM serta menghancurkan barang-barang milik umum dan rumah-rumah warga. Salah satu bukti nyata kriminal perang terjadi di Timika beberapa hari lalu dimana seorang warga tertembak mati oleh tentara Indonesia.
Aspirasi rakyat tidak pernah tersalurkan dan tidak diproses oleh pemerintah internasional sesuai jalur dan protokol dunia, karena salah satu penyebab utamanya adalah negara Indonesia tidak mau menandatangani dan meratifikasi SRPKI.
Pasukan perdamaian PBB dan lembaga kemanusiaan terkait lainnya sulit akses ke Papua Barat jikalau perang terbuka terjadi antara TPN dan TNI karena Indonesia bukan negara penanda tangan SRPKI. Rakyat Papua Barat harus menuntut agar tahun ini Indonesia menandatangani SRPKI demi menjamin nilai luhur kemanusiaan dan HAM serta mengakhiri konflik perang ini secara bermartabat dalam kondisi aman dan damai.
Amatus Douw Adalah Presiden FIPB, Perwakilan WPNCL Australia & Anggota ULMWP Tinggal di Australia.