Jayapura, GATRAnews- Kepolisian Polda Papua Barat menetapkan tiga tersangka dalam kasus mendukung Melanesian Speardhead Group (MSG), gerakan separatis yang akan membahas proposal West Papua National Coalition or Liberation (WPNCL). Ketiganya adalah AN (32), LM (33), MS (21). Polisi menetapkan ketiganya melanggar pasal 160 jo pasal 55 KUHP tentang tindak pidana penghasutan untuk melakukan perbuatan melawan hukum dengan ancaman hukumannya adalah paling lama 6 (enam) tahun.
Juru bicara Polda Papua Barat, AKBP J. Harapan Sitorus mengatakan ketiganya diduga melakukan penghasutan kepada 67 orang lainnya untuk menentang pemerintahan saat ini. “Kami juga masih mencari tahu aktor intelektual dibelakang aksi massa yang dilakukan kemarin,” katanya, Kamis (21/5).
Sitorus mengklaim polisi telah melakukan prosedur tetap dalam pembubaran aksi massa, hingga terjadi tembakan gas air mata untuk membubarkan puluhan orang itu. Pihaknya juga membantah adanya isu yang menyebutkan polisi telah melanggar hukum dengan adanya pembubaran tersebut, karena sengaja melakukan tembakan gas air mata kearah SD Amban, tempat lokasi massa membubarkan diri.
“Seolah-olah kami salah dengan cara melakukan tembakan gas air mata kearah massa, padahal massa yang melanggar aturan melarikan diri kearah sekolah SD. Apalagi di SD itu ada anak yang sedang melaksanakan ujian. Ini kan tidak benar. Kami juga telah melakukan negosiasi lisan kepada massa, tapi tak ditanggapi hingga adanya tembakan peringatan, juga tak ada tanggapan dari massa. Malahan massa saat itu makin brutal dengan melakukan pelemparan batu kepada anggota. Semua prosedur dan aturan telah kami jalani dalam pembubaran massa kemarin,” tegasnya.
Hal lainnya yang dilanggar oleh kelompok massa yang menamakan dirinya Komite Nasional Papua Barat(KNPB) ini adalah dalam melakukan aksinya tak disertai ijin resmi dari kepolisian setempat. Padahal dalam melakukan aksi unjuk rasa telah diatur dalam UU no 9/1998 tentang penyampaian pendapat dimuka publik.
“Pemberitahuan yang disampaikan kepada kepolisian setempat harusnya telah dilakukan sejak 3x24 jam. Misalnya dalam pemberitahuan itu harus ada siapa penanggung jawabnya, apa kegiatannya, rute kemana saja dalam aksi itu dan lain sebagainya. Tetapi hingga hari H, KNPB tak dapat menunjukkan surat ijin resmi dari pihak kepolisian. Ini jelas menyalahi aturan,” ujarnya.
Sitorus mengklaim polisi telah melakukan prosedur tetap dalam pembubaran aksi massa, hingga terjadi tembakan gas air mata untuk membubarkan puluhan orang itu. Pihaknya juga membantah adanya isu yang menyebutkan polisi telah melanggar hukum dengan adanya pembubaran tersebut, karena sengaja melakukan tembakan gas air mata kearah SD Amban, tempat lokasi massa membubarkan diri.
“Seolah-olah kami salah dengan cara melakukan tembakan gas air mata kearah massa, padahal massa yang melanggar aturan melarikan diri kearah sekolah SD. Apalagi di SD itu ada anak yang sedang melaksanakan ujian. Ini kan tidak benar. Kami juga telah melakukan negosiasi lisan kepada massa, tapi tak ditanggapi hingga adanya tembakan peringatan, juga tak ada tanggapan dari massa. Malahan massa saat itu makin brutal dengan melakukan pelemparan batu kepada anggota. Semua prosedur dan aturan telah kami jalani dalam pembubaran massa kemarin,” tegasnya.
Hal lainnya yang dilanggar oleh kelompok massa yang menamakan dirinya Komite Nasional Papua Barat(KNPB) ini adalah dalam melakukan aksinya tak disertai ijin resmi dari kepolisian setempat. Padahal dalam melakukan aksi unjuk rasa telah diatur dalam UU no 9/1998 tentang penyampaian pendapat dimuka publik.
“Pemberitahuan yang disampaikan kepada kepolisian setempat harusnya telah dilakukan sejak 3x24 jam. Misalnya dalam pemberitahuan itu harus ada siapa penanggung jawabnya, apa kegiatannya, rute kemana saja dalam aksi itu dan lain sebagainya. Tetapi hingga hari H, KNPB tak dapat menunjukkan surat ijin resmi dari pihak kepolisian. Ini jelas menyalahi aturan,” ujarnya.
Reporter: LLL
Editor: Nur Hidayat