Sebuah buku terbaru yang dirilis Indonesia Human Rights Monitor (Imparsial) di Jakarta, Rabu kemarin menyoroti pola pendekatan polisi terhadap persoalan di Papua, dimana didominasi pendekatan keamanan karena melihat semua gejolak sosial sebagai bagian dari gerakan separatis.
Menurut Imparsial, dalam buku berjudul, “Evaluasi Peran Polri di Papua” itu, stigma separatis membuat kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan baik polisi maupun TNI menjadi sesuatu yang banal di Papua.
“Kondisi ini terjadi selama bertahun-tahun dimana hasilnya adalah menyisakkan luka dan trauma bagi warga Papua, khususnya korban,” demikian laporan ini.
Poengky Indarti, Direktur Eksekutif Imparsial mengatakan dalam diskusi ini, de facto di Papua memang ada kelompok yang tidak menyetujui integrasi ke Indonesia, di mana ada yang melakukan perlawanan bersenjata dan ada yang melalui cara-cara damai.
“Namun, melihat Papua semata dari sudut isu separatisme merupakan sebuah kekeliruan,” katanya.
“Masih ada faktor lain yang juga tidak kalah pentingnya, yang salah satunya adalah pengalaman buruk warga ang selama bertahun-tahun menjadi korban kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan. Ditambah lagi dengan persoalan kesejahteraan,, kebijakan yang dikriminatif dan lain-lain”
Cara pandang yang melihat separatisme sebagai satu-satunya pemicu konflik di Papua, kata dia, membuat pemerintah mengkaitkan semua gejolak sosial sebagai bagian dari separatisme.
“Hal ini menjadi pintu masuk bagi penggunaan pendekatan keamanan, yang diakui ataupun tidak oleh pemerintah, masih terus dijalankan di Papua dengan alasan separatisme.”
Poengky juga menegaskan, kondisi ini diperparah oleh pola pikir polisi yang datang ke Papua.
“Mereka pada aumumnya telah memiliki paradigma yang negatif tentang Papua, bahwa Papua merupakan daerah separatis yang perlu diwaspadai. Hal ini menyebabkan polisi yang berada di lapangan cenderung melakukan kekerasan dan penganiayaan karena merasa bahwa tindakan mereka tersebut dibenarkan oleh slogan ‘NKRI harga mati’ dan ‘separatisme harus dibasmi sampai ke akar-akarnya’”.
Akibatnya, kata dia, polisi berpendapat bahwa melakukan kekerasan terhadap masyarakat Papua memiliki alasan pembenaran.
“Oleh karena itu, semua gerakan di masyarakat yang tidak terkait dengan makar pada akhirnya selalu dihubung-hubungan dengan gerakan separatis yang nyata-nyata merupakan pelanggaran HAM bagi masyarakat Papua.”
Merespon hal ini, Irjen Pol. Tito Karnavian, wakil dari Polri yang ikut dalam diskusi ini mengakui, persoalan pelanggaran HAM memang masih menjadi persoalan lama yang melibatkan Polri.
Namun, kata dia, polisi selalu memegang prinsip, hukum juga perlu ditegakkan.
“Setiap yang melanggar hukum, harus ditindak. Prinsipnya, perlakuan yang sama di hadapan hukum,” kata mantan Kapolda Papua periode 2012-2014 ini.
Sementara mengenai tindakan penegakan hukum untuk warga dengan tuduhan separatis, kata dia, itu pasti punya alasan dan dilakukan polisi sebagai bagian dari penghargaan terhadap hukum.
“Ini tidak sama dengan pendekatan militeristik,” tegasnya.
Poengky yang berbicara dengan ucanews.com usai diskusi mengatakan, polisi harus berbenah diri jika ingin hadir sebagai penganyom bagi warga Papua.
“Tudingan separatisme terlalu gampang diberikan. Harusnya polisi lebih hati-hari, karena tidak mungkin orang bisa merdeka, hanya karena mengatakan, ‘saya ingin merdeka’. Padahal, ia tidak punya kekuatan untuk itu,” katanya.
Ia menyatakan kekecewaan terhadap penangkapan 264 warga Papua – mayoritas aaggota Komite Naisonal Papua Barat (KNPB) – pada 30 April – 1 Mei lalu, yang ingin memperingati hari integrasi Papua ke Indonesia.
“Mereka hanya menyampaikan ekspresi politik secara damai, tetapi kenapa langsung ditangkap,” katanya. “Kenapa tidak mengambil langkah persuasif.”
Terkait penangkapan aktivis itu, Ones Sahuniap, Sekertaris Umum KNPB mengatakan kepada ucanews.com, hari ini, 262 orang yang ditangkap pekan lalu itu sudah dilepas, tinggal dua orang yang masih dikenakan wajib lapor ke polisi.
Menurut Poengky, sikap represif dari polisi, juga TNI, justeru memperkeruh masalah di Papua.
Hal lain yang perlu didorong ke depan adalah dialong dengan warga Papua oleh pemerintah pusat.
“Ini untuk mempertemukan cara pandang,” katanya,
Hal itu juga didukung oleh Tito menegaskan, di mana ia mengakuikarakteristik konflik di Papua memang unik, karena banyaknya persoalan.
Ia mengatakan, polisi memang sadar bahwa masih tumbuhnya gerakan separatis karena persoalan materi, antara lain terkait pembangunan.
Memang, menurutnya, selain itu, ada juga faktor ideologi dan emosi.
“Tetapi saya yakin faktor dominan adalah masalah materi atau ekonomi. Saya melakukan dialog di 42 kabupaten/kota, persoalannya selalu materi,” ujarnya.
Karena itu, kata dia, Polri memang sadar bahwa pendekatannya harus bergeser ke pendekatan kesejahteraan.
“Arah yang diambil pemerintah saat ini sudah tepat, dengan prioritas pada ekonomi masyarakat.”
Ia melihat, langkah pemerintah, misalnya Joko Widodo yang hari ini berangkat ke Papua akan memberi angin segar bagi perubahan kondisi di sana.
“Peningkatan kesejahteraan akan membuka ruang bagi kemungkinan hilangnya gerakan-gerakan separatis,” katanya.
Nur Kholis dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga mengingatkan, penegak hukum juga mesti member tempat pada mekanisme adat dan budaya dalam penyelsaian konflik.
“Itu yang selama ini hampir diabaikan oleh para penegak hukum,” katanya.
Namun, semua tawaran solusi itu tampaknya akan sulit dan butuh kerja keras agar terwujud, mengingat, Ones dari KNPB misalnya mengatakan, mereka saat ini “hanya ingin merdeka”.
“Kami mau merdeka secara politis. Kami meminta solusi yang demokratis, dengan referendum. Kita buktikan saja, apakah rakyat Papua ini tetap mau dengan NKRI atau mau merdeka,” katanya kepada ucanews.com.
Ia menegaskan, mereka kecewa dengan Indonesia, yang tidak menghargai mereka sebagi orang-orang bermartabat.
“Itu yang membuat apapun program dari Jakarta tidak membuat kami maju. Dengan uang banyak sekalipun. Sejarah kami memang tidak mengingkan kami dengan Indonesia,” katanya.
Ia menegaskan, seteah 52 tahun bergabung dengan NKRI, yang mereka alami, bukan pengalaman pahit.
“Kami memandang Indonesia sebagai penjajah. Apalagi dengan cara polisi dan TNI hadapi kami. Sedikit saja teriak di jalan, kami ditangkap dan rumah kami digeledah,” katanya.
“Dulu sebelum Indonesia masuk, nenek moyang kami tidak mengalami kekerasan, mereka hidup damai. Sekarang kami ingin mengalami situasi begitu.”
Ryan Dagur, Jakarta
Sumber: ucanews.com