JAKARTA, Indonesia — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam tindakan represif aparat gabungan TNI dan Polri dalam pembubaran kegiatan damai “Doa Pemulihan Bangsa Papua” di Timika, Papua, yang berujung pada pengenaan pasal makar pada salah satu peserta ibadah.
“Kami mengecam penggunaan pasal makar tersebut karena lagi-lagi pasal tersebut digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat di Papua,"kata pengacara publik LBH Jakarta, Veronica Koman, pada Sabtu, 9 April.
"Belum selesai PR (pekerjaan rumah) Jokowi soal tapol di Papua, kini malah jumlahnya mau ditambah lagi," ujar Veronica.
Berdasar informasi yang berhasil dikumpulkan baik dari media maupun saksi yang berada di lapangan, pada 5 April 2016 pagi, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) wilayah Timika mengadakan kegiatan doa bersama di halaman Gereja GKII Golgota di Timika.
Ketika kegiatan berlangsung, aparat gabungan membubarkan kegiatan dengan mengeluarkan tembakan ke atas dan menyerang kerumunan massa.
Aparat gabungan dilaporkan memukul, menendang, menghantam, dengan poporsenjata pada puluhan peserta kegiatan. Ada pula satu anggota TNI yang menelanjangi anggota KNPB yang berinisial IT.
Dua anggota KNPB berinisial AD dan AE juga terluka parah sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Sejumlah spanduk, pakaian, dan noken pun disita oleh polisi.
Penyerangan oleh aparat keamanan tersebut berujung pada ditangkapnya 15 anggota KNPB. Sebanyak 13 orang kemudian dibebaskan pada keesokan harinya dengan status wajib lapor hingga waktu yang belum ditentukan.
Dua lainnya, yakni Steven Itlay dan Yus Wenda, masih ditahan di Polres Mimika hingga saat ini. Steven dikenakan pasal 106 KUHP, yakni pasal makar.
Filep Karma, mantan tahanan politik Papua yang baru saja dibebaskan setelah divonis 15 tahun penjara, menuding ada faktor kesengajaan dari pihak aparat untuk merampas kebebasan berekspresi aktivis di Papua.
“Ini cara-cara zaman feodal Belanda untuk membungkam para pejuang kemerdekaan Indonesia. Aneh bin ajaib, di zaman Indonesia modern yang demokrasi begini masih digunakan cara represif abad 18,” kata Filep.
Ia melanjutkan, “Apa kalau penggunaan cara-cara represif dan pasal makar masih digunakan, membuktikan bahwa NKRI tidak bisa dipercaya? Hal ini akan mendorong semakin banyak yang simpati dengan penderitaan dan perjuangan orang Papua".
Filep meminta pemerintah untuk memberikan keadilan dan memperlakukan aktivis Papua secara manusiawi.
Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, mengamini pernyataan Filep.
“Pemerintah begitu takut dengan simbol-simbol identitas orang Papua, yang padahal simbol tersebut pernah bisa diakui dengan damai di zaman Gus Dur,” kata Alghiffari.
“Pemberangusan yang represif tidak akan bisa menghilangkan permasalahan diPapua. Penggunaan pasal makar malah akan semakin memperburuk situasi,” katanya.
Untuk itu, LBH Jakarta menuntut kepada Kapolres Mimika, Kapolda Papua, dan Kapolri untuk segera menghentikan penyidikan dan membebaskan Steven, serta segera melepaskan Yus Wenda.
Mengapa? Karena yang bersangkutan hanya diduga melanggar pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 2 tahun 8 bulan. LBH Jakarta juga menuntut keseriusan komitmen Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam penyelesaian persoalan tapol di Papua.
Versi Polisi: Aktivis pukuli Kapolres
Sementara itu, Kepolisian Resor Mimika mengakui bahwa pihaknya mengamankan sekitar 12 orang aktivis KNPB setelah terjadi kasus pemukulan terhadap Kapolres Mimika AKBP Yustanto Mudjiharso di Lapangan Kampung Bhintuka-SP13, pada Selasa, 5 April.
Kapolres Mimika Yustanto di Timika mengatakan peristiwa pemukulan itu terjadi saat dirinya bersama anggota dibantu aparat TNI hendak membubarkan paksa kegiatan orasi yang dilakukan aktivis KNPB.
Para aktivis KNPB yang dipimpin Steven dalam orasinya memprovokasi masyarakat setempat agar terus menyuarakan kemerdekaan Papua dan lepas dari NKRI.
Saat itulah, salah seorang di antara para aktivis KNPB memukul Yustanto Mudjiharso hingga mengalami luka robek pada bibirnya.
"Anggota langsung mengamankan 12 orang, termasuk pimpinan KNPB wilayah Timika, Steven Itlay. Provokator dan orang-orang yang terlibat dalam acara itu sebagai penggerak massa juga sudah kita amankan," kata Yustanto.
Belasan aktivis KNPB tersebut kini tengah menjalani pemeriksaan intensif di Polsek Kuala Kencana.
Yustanto mengatakan polisi sudah melakukan pendekatan persuasif kepada para aktivis KNPB sebelum menggelar kegiatan orasi. Namun ajakan tersebut tidak dipedulikan, bahkan para aktivis KNPB terus leluasa mengumpulkan massa dan menyampaikan orasi-orasi yang bersifat provokatif.
"Mereka sudah menjanjikan untuk tidak melakukan orasi-orasi yang berkaitan dengan soal referendum dan lainnya. Namun dalam praktiknya mereka tetap menyampaikan hal-hal seperti itu. Kami sudah berkomitmen, kalau kegiatan mereka melanggar hukum maka kita akan tindak tegas," ujar Yustanto.
Polres Mimika, katanya, meminta dukungan dari Pemkab Mimika beserta seluruh pemuka agama di wilayah itu, seperti para pimpinan gereja-gereja, agar membantu memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak menggelar kegiatan berbau politik, apalagi kegiatan separatis di lingkungan gereja.
"Kami memberikan kebebasan sepenuhnya kalau masyarakat benar-benar menggelar kegiatan ibadah. Tapi kalau sudah campur baur dengan kepentingan politik tertentu untuk meminta referendum dan lain-lain, maka itu sudah melanggar hukum. Kami tidak akan memberikan toleransi sedikitpun untuk hal-hal seperti itu," ucap Yustanto.
Dari pemantauan jajaran Polres Mimika, para aktivis KNPB tersebut beberapa hari sebelumnya telah membagi-bagikan selebaran kepada masyarakat setempat untuk ikut dalam kegiatan orasi tersebut. Bahkan mereka juga mengundang jajaran Pemkab Mimika dan kalangan DPRD setempat.
Pasca kejadian tersebut, situasi di Kampung Bhintuka-SP13 sudah kembali kondusif.—Dengan laporan dari Antara/Rappler.com
BACA JUGA: