Penangkapan ribuan aktivis Papua - KNPB di Jayapura |
Jakarta -Enam negara di wilayah Pasifik untuk pertama kali bersama-sama mengangkat isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ke-71. Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Marshal, Tuvalu, dan Tonga adalah enam negara Pasifik yang menyerukan PBB agar segera mengakhiri berbagai pelanggaran HAM yang dialami warga Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) dalam 50 tahun terakhir.
Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare, menyatakan kepeduliannya tentang dugaan pelanggaran HAM terhadap penduduk Melanesia di Papua. Selanjutnya, Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sopoaga, mengingatkan PBB untuk tidak seharusnya mengabaikan situasi yang menyedihkan di Papua dengan bersembunyi di balik prinsip tidak mengintervensi kedaulatan negara.
”PBB harus bertindak terhadap isu ini dan mencari solusi yang dapat dijalankan,” kata Sopoaga dalam sidang yang berlangsung pada Jumat pekan lalu. Dewan HAM PBB, menurut Presiden Kepulauan Marshall Hilda Heine, diminta sungguh-sungguh menyelidiki pelanggaran HAM di Papua.
Menanggapi hal itu, diplomat Indonesia di PBB, Nara Masista Rakmatia, justru menuding enam negara Pasifik itu mengintervensi kedaulatan Indonesia, dan dengan begitu mencederai piagam PBB tentang non-intervensi.
”Pernyataan mereka bermotif politik dan didesain mendukung kelompok separatis, yang terus-menerus menghasut agar terjadi pembangkangan publik dan mengarah pada serangan teroris bersenjata,” ujar Nara seperti dikutip abc.net.au. Adapun Wakil Presiden Jusuf Kalla yang hadir di sidang umum PBB, dalam pernyataannya, sama sekali tidak menyinggung isu Papua.
Menjawab tudingan Indonesia, utusan khusus PBB Kepulauan Solomon mengenai Papua Barat, Rex Horoi, meminta Indonesia mengizinkan pelapor khusus PBB masuk ke Papua untuk membuktikan benar-tidaknya informasi yang diterima enam negara Pasifik tersebut. Solomon juga meminta PBB segera bertindak, mengingat sejumlah laporan lembaga HAM mengungkap berbagai praktek pelanggaran HAM terjadi di Papua.
“Bagaimana mungkin anggota-anggota PBB sebagai pembela HAM membiarkan kekerasan terjadi terhadap lebih dari 500 ribu warga Papua Barat selama 50 tahun terakhir?” ujar Horoi. ”PBB bertanggung jawab melindungi seluruh manusia dari pelanggaran HAM dan menuntut tanggung jawab dari negara anggotanya.”
Komisioner Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) Natalius Pigai mengiyakan pernyataan enam negara Pasifik dalam sidang majelis Umum PBB tentang situasi HAM di Papua. ”Mereka lebih peka melihat kondisi riil di Papua,” ujar dia kepada Tempo, kemarin.
Presiden Joko Widodo, menurut Natalius, hanya memberi janji untuk menyelesaikan kasus HAM di Papua tanpa ada kelanjutannya. ”Presiden tidak punya grand design dan time frame penyelesaian kasus HAM di Papua, sehingga tidak ada proses yang berjalan,” kata dia. Ia pun mengingatkan Indonesia agar tidak meremehkan negara-negara Pasifik yang mengangkat isu HAM Papua di tingkat internasional. ”Ini seperti gajah melawan tawon atau semut.”
Janji SBY dan Jokowi soal Kasus HAM Papua
Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah berjanji untuk menyelesaikan berbagai masalah di Papua khususnya mengenai berbagai pelanggaran HAM di provinsi tempat lahirnya etnis Melanesia itu.
Namun janji masih sebatas janji. Seperti disampaikan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai, tidak ada kemajuan dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Papua.
Begitu juga hasil rekomendasi Jaringan Papua Damai, belum ada kabar dari Presiden Jokowi. Berbagai elemen masyarakat Papua berulang kali menyuarakan tuntutan penyelesaian seluruh kasus pelanggaran HAM.
Berikut janji-janji SBY dan Jokowi dalam menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di Papua:
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
9 November 2011
Di depan media peliput Konferensi Tingkat TInggi (KTT) ke-19 ASEAN dan Asia Timur, SBY menegaskan telah memerintahkan aparat penegak hukum untuk bekerja sama menangani semua masalah di Papua, dengan cara-cara yang sesuai prosedur.
Bahkan, di depan Presiden AS, Barack Obama, Presiden SBY berjanji akan menegakkan aturan hukum.
"Saya sudah memberikan perintah untuk menyelesaikan masalah Papua dengan cara bijak dan sesuai aturan. Saya janji, hukum itu pasti ditegakkan di Papua. Saya katakan pada beliau kalau ada anggota militer atau Polri yang melanggar hukum, melanggar HAM, ada pengadilan dan kita buktikan itu. Jangan ada immunitas, jangan ada kekebalan, lakukan proses hukum," ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Joko Widodo (Jokowi)
9 Desember 2014
Presiden Jokowi menegaskan pemerintahan yang dipimpinnya berkomitmen untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang telah lama dinanti aktivis HAM untuk dituntaskan.
"Pemerintah berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu secara berkeadilan," kata Presiden Joko Widodo dalam acara peringatan Hari HAM di Gedung Senisono Istana Kepresidenan Yogyakarta.
19 Mei 2016
Pemerintah Indonesia melalui Menkopolhukam dan jajarannya berjanji menyelesaikan 11 kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua, termasuk kasus Biak Numfor 1998 dan peristiwa Paniai 2014.
Penyelesaian hukum terhadap 11 kasus tersebut melibatkan Mabes Polri, TNI, Badan Intelijen Negara, Polda Papua, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Masyarakat Adat Papua, pegiat HAM dan pemerhati masalah Papua.
Dari 11 kasus dugaan pelanggaran HAM, Polda Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih diberi kewenangan menyelesaikan empat kasus dugaan pelanggaran HAM, kata Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw.
Adapun lima kasus akan ditangani secara hukum oleh Mabes Polri, Kejaksaan Agung, serta Komnas HAM, dan dua kasus lainnya yaitu kasus penyanderaan Mapenduma 1996 dan kerusuhan Biak Numfor 1998 akan diselesaikan melalui 'keputusan politik'.
"Kami kebagian empat kasus, termasuk kasus hilangnya Aristoteles Masoka (10 November 2001), sopirnya Theys Eluay (aktivis Papua merdeka)," kata Paulus Waterpauw kepada wartawan usai rapat koordinasi di kantor Menkopolhukam, Rabu, 18 Mei 2016 sore.
Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan pihaknya diberi wewenang untuk menyelesaikan sejumlah kasus kekerasan di Papua yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat.
"Yang masuk kategori (pelanggaran) HAM berat, yaitu kasus Wasior (2001) dan Wamena (2003), kasus Paniai (Desember 2014), dan masih usulan tapi belum disepakati betul yaitu kasus Biak berdarah (Juli 1998). Empat kasus ini yang kami tangani," kata Imdadun setelah rapat di kantor Menkopolhukam.
Sumber Dari: http://www.anginselatan.com/2016/10/pasifik-tantang-indonesia-bongkar.html#ixzz4LugrCD5V