Headlines News :
Home » » Memaknai Honai Adat Dikaitkan Dengan Dunia Pemerintahan di Tanah Papua

Memaknai Honai Adat Dikaitkan Dengan Dunia Pemerintahan di Tanah Papua

Written By Unknown on Senin, 23 Maret 2015 | 18.32.00

Oleh:  Benyamin  Magay

Honai adat  secara umum  dikenal oleh setiap suku bangsa di Papua lebih khusus suku bangsa yang hidup di pedalaman Papua.  Honai adat  adalah tempat sakral  yang selalu dijaga, dipelihara dan diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi   suku bangsanya. Honai adat adalah tempat khusus untuk melakukan seluruh aktivitas kebudayaan. Honai adat juga sebagai tempat  untuk  setiap pemimpin adat atau kepala suku atau kaum laki-laki dalam budaya merencanakan semua kegiatan yang membangaun kehidupan suku bangsanya  maupun menghidupkan kehidupan bagi setiap suku bangsa yang memaknai honai adat itu sendiri.  

Honai adat selalu dimiliki olah setiap suku bangsa Papua yang selalu dimaknai sesuai dengan adat yang dianutnya. Honai adalah tempat khusus kaum laki-laki berkumpul dan berinteraksi untuk memecakan masalah mencari solusi atau pesta adat yang dilakukanya.  Adat adalah semua aktifitas hidup, falsafa hidup dan idiologi yang ada diangkat dan diwariskan  untuk jati diri bangsa itu sendiri. 

Honai adat itu digunakan secara salah maka kehidupan setiap suku bangsa yang mempunyai pandangan terhadap honai adat akan mengalami kegoncangan kehidupan dalam realitas hidupnya. Adapun pantangan dan larangan yang diakui agar setiap orang memaknai  kehidupan di honai adat yang ada. Pantangan itu dibuat untuk kehidupan yang lebih baik demi keharmonisan kebaikan bersama. Salah satu contoh pantangan itu dapat terlihat dalam pembicaraan sacral selalu di honai adat misalnya rancangan untuk perang, diskusi tentang suaatu strategis kehidupan dll.

Fungsi honai adat juga  selalu menjadi tempat khusus bagi setiap orang yang berwewnang dan layak sesuai dengan adat  kebiasan setempat, tempat khusus  berdiskusi, menemukan ide-ide, gagasan-gagasan serta kereatifitas berpikir demi kemajuan adat istiadat serta kehidupan dalam kalanganya, sesuai dengan cara yang diwariskan  untuk memaknai dalam kalangan suku bangsa Papua. Kepercayaan yang sering dibangun, keratif  berpikir yang ditemukan sering dan selalu menjadi senjata untuk melawan musuh atau menghasilkan suatu solusi yang dapat menghasilkan buah yang baik bagi kehidupan bersama. Inilah khas dari honai adat, penulis hanya mempublikasikan fungsi honai yang kelihatan atau secara garis besar saja.

Honai adat dikaitkan dengan pemerintahan Papua di era ini, lebih khusus kantor Provinsi maupun kantor-kantor bupati  yang berada di setiap wilayah adat di Provinsi Papua. Kantor-kantor diyakini sebagai sarana untuk merancang pembangunan untuk suatu pemerintahan yang ada. Kebanyakan kantor bupati yang ada di provinsi Papua tidak digunakan sebagai mana mestinya. Pemekaran kabupaten bertujuan untuk pembangunan inprastruktur serta membangun daerah  secera fisik dan non fisik. Semuanya dapat dirancang di kantornya (di honai adat), namun realitas yang terjadi tidak demikian.   

Setiap berita yang dimuat di media masa  sering dan selalu terjadi bahwa  perencanaan anggaran  pembagunan daerah  selalu dibuat di luar perkantoran kabupaten (honai adat) setempat.  Perkantoran bupati tidak memanfaatkan sebagai mana mestinya. Kantor bupati yang sesungguhnya bagi pemerintahan era ini  adalah di hotel-hotel  ternama disetiap  kota  di Papua. Namun ada pemahaman baru yang menjadi pertanyaan, apakah ada undang-undang yang mengatur bahwa perencanaan pembangunan dilangsungkan di hotel? Pembayaran hotel untuk perencanaan pembangunan daerah mengunakan anggaran yang mana? Ini menjadi pertanyaan yang memicu untuk menanyakan keberadaan kantor kabupaten kota atau provinsi yang ada di tanah Papua.

Dengan demikian arah pembangunan menjadi suram, karena setiap orang yang menjadi pemimpin pemerintahan tidak memaknai  budaya setempat apalagi memaknai memahami apa arti honai adat atau adanya perkantoran kabupaten kota. Pertanyaan bagi  pemangku pemerintahan siapakah yang sebenarnya menjadi pejabat tinggih disetiap kabupaten kota di Provinsi Papua. Realitas menunjukan bahwa yang menjadi pemangku pemerintahan kabupaten kota adalah Putar/putri  asli  nota benenya  anak adat dan lahir besar dalam honai adat. 

Namun honai adat yang ada tidak difunsikan, maka situasi ini akan mempengaruhi arah serta pola berpikir untuk pembangunan yang lebih baik.  Keratif untuk berpikir semakin menurun dipengaruhi oleh sistim pemerintahan yang tidak pada tempatnya. Pelanggaran budaya yang seharusnya bicara di honai adat tetapi pemerintaan berbicara di luar honai adat yang ada.  Jelas arah pembangunannya pun tidak jelas maka terjadi konflik yang berkepanjangan, hinggah jeritan air mata darah rakyat  selalu mengalir. Air mata darah rakyat  itu akan terhapus atau kering bila sapu tangan pemimpin yang memahami makna honai adat. 

Artinya merencanakan apa saja dihonainya maka keratifitas berpikir akan mengalir sesuai dengan adat setempat serta pola perencanaan anggaran pembangunan kena konteks dengan situasi setempat. Semua keputusan yang diambil akan terlaksana dengan baik. Keberhasilan terwujud karena kereatifitas perencanan itu dibuat di honai adat dalam dunia pemerintahan adalah di kantor bupati maka  secara tidak langsung disetujuhi oleh  alam, leluhur,  rakyat kecil dan Allah leluhur bangsa Papua.

Betapa penting honai adat yang dikontekskan dalam dunia pembangunan pemerintahan, karena beberapa realitas dibeberapa kabupaten pemekaran. Kabupaten pemekaran  menjadi sumber konflik baik secara vertikal maupun horizontal. Dengan demikian yang korban adalah rakyat  kecil yang murni dan polos. Penulis  mengangkat sedikit situasi yang terjadi dibeberapa kabupaten pemekaran di Papua lebih khusus kabupaten pemekaran di Intan Jaya.  Dalam kenyataan  perencanaan pembangunan daerah selalu dibuat di luar dari kantor kabupaten atau tempat yang telah disediakan di kabupaten setempat.   

Namun kenyataannya Hotel menjadi kantor bupati untuk merancang pembangunan daerah. Analisisnya  sangat kontrak dengan kenyataan budaya yang ada dalam suku bangsa Migani. Suku bangsa Migani adalah salah satu suku yang memaknai honai adat. Honai adat yang dijelaskan di awal tulisan ini bahwa tempat atau sarana merencanakan semua hal yang mendatangklan kebaikan bersama, yang  dalam bahasa daerahnya honai adat disebut Nduni. Nduni adalah tempat khusus laki-laki berdisikusi tentang situasi yang mengancam hidup  sukunya atau membicarakan rancangan-rancangan yang membangun kebaikan bersama untuk menjaga kesejatian suku bangsanya dalam dunia sosial, ekonomi, politik dan budaya.  

Ada keyakinan bahwa perencanan pembagunan daerah oleh pemerintah di luar kantor atau honai adat tetap jalan pembagunan akan mungkin  suram dan tidak ada ujung keberhasilan untuk kesejatrerahan masyarakat setempat. Mbole dole mina iage hendago usua kidindingga (semua pembicaraan bersifat lawan  atau  perencanaan pembangunan di rumah perempuan atau di luar honai adat selalu salah atau tidak berhasil).  Pernyataan dalam bahasa daerah  ini mau menunjukan bahwa rancangan pembagunan tidak dibuat di daerah atau dipusat kabupaten  maka selalu menghasilkan kesuraman arah pembagunannya. Hasilnya hanya ada konflik berkepanjangan,  akhirnya air mata darah rakyat murni dan polos selalu mengalir bagaikan sungai. Rakyat berkorban karena kepentingan elit politik. 

Melihat realitas demikian penulis ingin menawarkan beberapa solusi yang mungkin menipiskan air mata darah  rakyat kecil:

Memahami dan memfungsikan honai adat (kantor Bupati) sebagai mana mestinya artinya fungsikan tempat untuk perencanaan pembangunan daerah. Memfungsikan setiap ruang kerja di setiap SKPD, yang ada di kabupaten kota. Kembali memahami dan memperhatikan visi dan misi awal  pemekaran kabupaten kota. Pemangku pemerintahan maupun elit politik membangun sikap kecintaan akan kabupatennya.  Dan yang terahkir adalah tanamkan suatu sikap  TAKUT AKAN  ALLAH, dalam hidupnya  sebagai manusia yang beriman. Dengan demikian akan mungkin menghapus air mata darah dari rakyat kecil yang  tak  bersalah itu, hanya ada senyuman manis dalam kepolosan hatinya. 

Penulis Adalah Mahasiswa (S1) Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura –Jayapura-Papua.
 
 
sumber- kabarmapegaa.com
Share this post :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. AMUGI KIBAH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger