Oleh: Benyamin Magay
Honai adat secara umum
dikenal oleh setiap suku bangsa di Papua lebih khusus suku bangsa yang
hidup di pedalaman Papua. Honai adat adalah tempat sakral yang selalu dijaga, dipelihara dan diwariskan
turun-temurun dari generasi ke generasi suku bangsanya. Honai adat adalah tempat khusus
untuk melakukan seluruh aktivitas kebudayaan. Honai adat juga sebagai tempat untuk setiap pemimpin adat atau kepala suku atau
kaum laki-laki dalam budaya merencanakan semua kegiatan yang membangaun kehidupan
suku bangsanya maupun menghidupkan
kehidupan bagi setiap suku bangsa yang memaknai honai adat itu sendiri.
Honai adat
selalu dimiliki olah setiap suku bangsa Papua yang selalu dimaknai sesuai
dengan adat yang dianutnya. Honai adalah tempat khusus kaum laki-laki berkumpul
dan berinteraksi untuk memecakan masalah mencari solusi atau pesta adat yang
dilakukanya. Adat adalah semua aktifitas
hidup, falsafa hidup dan idiologi yang ada diangkat dan diwariskan untuk jati diri bangsa itu sendiri.
Honai adat itu
digunakan secara salah maka kehidupan setiap suku bangsa yang mempunyai pandangan
terhadap honai adat akan mengalami kegoncangan kehidupan dalam realitas hidupnya.
Adapun pantangan dan larangan yang diakui agar setiap orang memaknai kehidupan di honai adat yang ada. Pantangan itu
dibuat untuk kehidupan yang lebih baik demi keharmonisan kebaikan bersama.
Salah satu contoh pantangan itu dapat terlihat dalam pembicaraan sacral selalu
di honai adat misalnya rancangan untuk perang, diskusi tentang suaatu strategis
kehidupan dll.
Fungsi honai
adat juga selalu menjadi tempat khusus
bagi setiap orang yang berwewnang dan layak sesuai dengan adat kebiasan setempat, tempat khusus berdiskusi, menemukan ide-ide, gagasan-gagasan
serta kereatifitas berpikir demi kemajuan adat istiadat serta kehidupan dalam
kalanganya, sesuai dengan cara yang diwariskan
untuk memaknai dalam kalangan suku bangsa Papua. Kepercayaan yang sering
dibangun, keratif berpikir yang
ditemukan sering dan selalu menjadi senjata untuk melawan musuh atau
menghasilkan suatu solusi yang dapat menghasilkan buah yang baik bagi kehidupan
bersama. Inilah khas dari honai adat, penulis hanya mempublikasikan fungsi
honai yang kelihatan atau secara garis besar saja.
Honai adat dikaitkan
dengan pemerintahan Papua di era ini, lebih khusus kantor Provinsi maupun kantor-kantor
bupati yang berada di setiap wilayah
adat di Provinsi Papua. Kantor-kantor diyakini sebagai sarana untuk merancang
pembangunan untuk suatu pemerintahan yang ada. Kebanyakan kantor bupati yang
ada di provinsi Papua tidak digunakan sebagai mana mestinya. Pemekaran kabupaten
bertujuan untuk pembangunan inprastruktur serta membangun daerah secera fisik dan non fisik. Semuanya dapat
dirancang di kantornya (di honai adat), namun realitas yang terjadi tidak
demikian.
Setiap berita
yang dimuat di media masa sering dan
selalu terjadi bahwa perencanaan
anggaran pembagunan daerah selalu dibuat di luar perkantoran kabupaten (honai
adat) setempat. Perkantoran bupati tidak
memanfaatkan sebagai mana mestinya. Kantor bupati yang sesungguhnya bagi
pemerintahan era ini adalah di hotel-hotel
ternama disetiap kota di
Papua. Namun ada pemahaman baru yang menjadi pertanyaan, apakah ada
undang-undang yang mengatur bahwa perencanaan pembangunan dilangsungkan di
hotel? Pembayaran hotel untuk perencanaan pembangunan daerah mengunakan
anggaran yang mana? Ini menjadi pertanyaan yang memicu untuk menanyakan
keberadaan kantor kabupaten kota atau provinsi yang ada di tanah Papua.
Dengan demikian
arah pembangunan menjadi suram, karena setiap orang yang menjadi pemimpin pemerintahan
tidak memaknai budaya setempat apalagi
memaknai memahami apa arti honai adat atau adanya perkantoran kabupaten kota. Pertanyaan
bagi pemangku pemerintahan siapakah yang
sebenarnya menjadi pejabat tinggih disetiap kabupaten kota di Provinsi Papua.
Realitas menunjukan bahwa yang menjadi pemangku pemerintahan kabupaten kota adalah Putar/putri asli nota benenya anak adat dan lahir besar dalam honai adat.
Namun honai adat yang
ada tidak difunsikan, maka situasi ini akan mempengaruhi arah serta pola berpikir
untuk pembangunan yang lebih baik.
Keratif untuk berpikir semakin menurun dipengaruhi oleh sistim
pemerintahan yang tidak pada tempatnya. Pelanggaran budaya yang seharusnya
bicara di honai adat tetapi pemerintaan berbicara di luar honai adat yang
ada. Jelas arah pembangunannya pun tidak
jelas maka terjadi konflik yang berkepanjangan, hinggah jeritan air mata darah
rakyat selalu mengalir. Air mata darah
rakyat itu akan terhapus atau kering
bila sapu tangan pemimpin yang memahami makna honai adat.
Artinya merencanakan
apa saja dihonainya maka keratifitas berpikir akan mengalir sesuai dengan adat
setempat serta pola perencanaan anggaran pembangunan kena konteks dengan
situasi setempat. Semua keputusan yang diambil akan terlaksana dengan baik.
Keberhasilan terwujud karena kereatifitas perencanan itu dibuat di honai adat
dalam dunia pemerintahan adalah di kantor bupati maka secara tidak langsung disetujuhi oleh alam, leluhur, rakyat kecil dan Allah leluhur bangsa Papua.
Betapa penting
honai adat yang dikontekskan dalam dunia pembangunan pemerintahan, karena
beberapa realitas dibeberapa kabupaten pemekaran. Kabupaten pemekaran menjadi sumber konflik baik secara vertikal
maupun horizontal. Dengan demikian yang korban adalah rakyat kecil yang murni dan polos. Penulis mengangkat sedikit situasi yang terjadi dibeberapa
kabupaten pemekaran di Papua lebih khusus kabupaten pemekaran di Intan
Jaya. Dalam kenyataan perencanaan pembangunan daerah selalu dibuat
di luar dari kantor kabupaten atau
tempat yang telah disediakan di kabupaten setempat.
Namun kenyataannya Hotel menjadi kantor bupati
untuk merancang pembangunan daerah. Analisisnya sangat kontrak dengan kenyataan budaya yang ada dalam suku bangsa Migani. Suku bangsa
Migani adalah salah satu suku yang memaknai honai adat. Honai adat yang
dijelaskan di awal tulisan ini bahwa tempat atau sarana merencanakan semua hal
yang mendatangklan kebaikan bersama, yang dalam bahasa daerahnya honai adat disebut Nduni. Nduni adalah tempat khusus laki-laki berdisikusi tentang situasi
yang mengancam hidup sukunya atau
membicarakan rancangan-rancangan yang membangun kebaikan bersama untuk menjaga
kesejatian suku bangsanya dalam dunia sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Ada keyakinan bahwa perencanan pembagunan
daerah oleh pemerintah di luar kantor atau honai adat tetap jalan pembagunan
akan mungkin suram dan tidak ada ujung
keberhasilan untuk kesejatrerahan masyarakat setempat. Mbole dole mina iage hendago usua kidindingga (semua pembicaraan
bersifat lawan atau perencanaan pembangunan di rumah perempuan
atau di luar honai adat selalu salah atau tidak berhasil). Pernyataan dalam bahasa daerah ini mau menunjukan bahwa rancangan pembagunan
tidak dibuat di daerah atau dipusat kabupaten
maka selalu menghasilkan kesuraman arah pembagunannya. Hasilnya hanya
ada konflik berkepanjangan, akhirnya air
mata darah rakyat murni dan polos selalu mengalir bagaikan sungai. Rakyat
berkorban karena kepentingan elit politik.
Melihat
realitas demikian penulis ingin menawarkan beberapa solusi yang mungkin
menipiskan air mata darah rakyat kecil:
Memahami dan
memfungsikan honai adat (kantor Bupati) sebagai mana mestinya artinya fungsikan
tempat untuk perencanaan pembangunan daerah. Memfungsikan setiap ruang kerja di setiap
SKPD, yang ada di kabupaten kota. Kembali memahami dan memperhatikan visi dan
misi awal pemekaran kabupaten kota. Pemangku
pemerintahan maupun elit politik membangun sikap kecintaan akan
kabupatennya. Dan yang terahkir adalah tanamkan
suatu sikap TAKUT AKAN ALLAH, dalam hidupnya sebagai manusia yang beriman. Dengan demikian
akan mungkin menghapus air mata darah dari rakyat kecil yang tak bersalah
itu, hanya ada senyuman manis dalam kepolosan hatinya.
Penulis Adalah Mahasiswa (S1) Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi “Fajar Timur” Abepura –Jayapura-Papua.
sumber- kabarmapegaa.com