Berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia menjadi salah satu sorotan dalam Laporan Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri Amerika hari Kamis, 28 Februari di Washington DC.
Di antara berbagai pelanggaran tersebut adalah penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta, masih terjadinya aksi kekerasan di Papua, serta kegagalan melindungi hak kelompok minoritas dan agama.
Departemen Luar Negeri Amerika kembali mengeluarkan Laporan Hak Asasi Manusia yang menyorot pelaksanaan hak asasi manusia di dunia beserta kemajuan dan kemunduran yang terjadi. Aksi kekerasan di Suriah, Sudan Selatan dan Republik Afrika Tengah, pergolakan politik yang menggerus hak asasi warga di Mesir, Ukraina dan Venezuela, buruknya kondisi buruh di Sri Lanka dan Bangladesh, hingga minimnya perlindungan terhadap kelompok agama dan etnis minoritas di Birma dan Indonesia misalnya menjadi sorotan utama.
Khusus untuk Indonesia, laporan tahunan ini awalnya memuji keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilu yang bebas dan adil tahun 2009, kehadiran pemimpin-pemimpin baru dan upaya menegakkan hukum yang dimotori KPK. Namun tetap maraknya korupsi, kegagalan melindungi kelompok agama dan etnis minoritas, masih besarnya jumlah pekerja anak, minimnya upah buruh, dan kondisi penjara yang buruk, seakan menjadi rapor merah Indonesia dalam laporan ini.
Lambatnya proses pengadilan terhadap pelaku penyerbuan lembaga pemasyarakatan Cebongan di Yogyakarta pada 23 Maret 2013 dan masih terus terjadinya aksi kekerasan di Papua, baik yang dilakukan aparat keamanan maupun kelompok-kelompok bersenjata, menjadi dua contoh yang diangkat dalam laporan itu. Juga soal kegagalan melindungi kelompok agama dan etnis minoritas yang tampaknya merujuk pada kasus kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Madura dan Lombok, NTB.
Namun Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Indonesia Djoko Suyanto yang dihubungi melalui telfon oleh VOA membantah beberapa bagian laporan yang menurutnya tidak melihat latar belakang permasalahan secara menyeluruh. Soal penilaian bahwa pemerintah Indonesia gagal melindungi kelompok agama dan etnis minoritas, Djoko Suyanto mengatakan pemerintah Indonesia sangat peduli dan serius melindungi semua kelompok, serta mengambil langkah-langkah terpadu untuk mencegah terjadinya aksi kekerasan. “Masalahnya adalah ini soal kepercayaan, soal keyakinan. Ini tidak mudah dipertemukan karena masing-masing pihak merasa keyakinannya adalah yang paling benar” ujar purnawirawan marsekal ini.
Sementara soal masih terus terjadinya aksi kekerasan di Papua, Djoko Suyanto mengatakan selama ini pendekatan yang dilakukan di Papua masih tetap sama, yaitu berorientasi ekonomi dan kesejahteraan. “Jika ada tindakan pihak keamanan, dalam hal ini aparat kepolisian, itu semata-mata untuk menegakkan hukum dan ketertiban sebagaimana yang diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia,” tambahnya.
Laporan Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri Amerika ini juga mengkritisi buruknya kondisi penjara akibat keterbatasan sarana dan infrastruktur. Dengan mengutip data dari Kementerian Hukum dan HAM, laporan ini mencontohkan bagaimana LP Cipinang Jakarta yang dirancang untuk menampung 880 narapidana, kini dihuni oleh 2.826 narapidana. Antara tanggal 1 Januari hingga 30 Juni 2013, diketahui ada 279 narapidana yang meninggal di dalam tahanan, di mana 220 diantaranya meninggal karena kondisi medis sebelum dipenjara, 10 karena bunuh diri, 5 karena luka-luka akibat insiden di dalam penjara dan 44 narapidana meninggal karena sebab-sebab lain.
Laporan ini menyatakan sejak tahun 2009 pemerintah Indonesia menolak permintaan Komite Palang Merah Internasional ICRC untuk memonitor kondisi dan perlakuan di dalam penjara, termasuk akses untuk bertemu dan berbicara dengan para narapidana.
Tidak semua isi Laporan Hak Asasi Departemen Luar Negeri Amerika ini berisi kecaman. Ada pula pujian terhadap langkah Indonesia memberantas korupsi. Pemerintah Indonesia dinilai serius melakukan hal itu dengan mendirikan pengadilan anti-korupsi di seluruh propinsi. Hingga tahun 2012 saja KPK berhasil mengembalikan 1,3 trilyun aset negara dan mencegah hilangnya lebih dari 152 trilyun aset negara. Keberanian KPK menangkap kepala sebuah partai politik dan ketua Mahkamah Konstitusi juga disorot dalam laporan ini.
Meskipun Indonesia tetap dinilai belum memberi cukup perlindungan bagi para whistleblower yang melaporkan kasus korupsi, terorisme, narkoba, pencurian dan perdagangan manusia. Para whistleblower ini kadangkala justru menjadi sasaran intimidasi dan balas dendam.
Secara khusus laporan ini juga menyorot dikabulkannya peninjauan kembali (PK) Pollycarpus Budihari Priyanto oleh Mahkamah Agung pada 2 Oktober 2013. Hukuman penjara tokoh yang dinilai terlibat dalam pembunuhan aktivis HAM Munir itu dikurangi dari 20 tahun menjadi 14 tahun.
Menteri Luar Negeri John Kerry mengatakan laporan ini merupakan bentuk keprihatinan terhadap pelanggaran HAM yang masih kerap terjadi di beberapa negara, meskipun upaya meningkatkan demokrasi dan pelaksanaan HAM terus diupayakan. Dalam pengantar ketika mengeluarkan laporan ini, Kerry menegaskan bahwa laporan komprehensif ini dibuat berdasarkan kajian dari seluruh kedutaan dan misi Amerika di luar negeri, dialog dengan para aktivis, LSM dan laporan-laporan media. Laporan ini, ujar Kerry, tidak dimaksudkan untuk menunjukkan arogansi Amerika, tetapi untuk menegakkan hak-hak universal mereka yang belum bisa bersuara dan mendorong pemerintah negara bersangkutan untuk memperbaiki hal ini. “Tuntutan menegakkan martabat manusia adalah hal yang tidak bisa dihentikan siapapun”, tegas Kerry pada bagian akhir pengantar laporan tahunan hak asasi tersebut.
Laporan lengkap tentang hak asasi manusia ini dapat dilihat di situs Departemen Luar Negeri Amerika di www.state.gov/humanrightsreport.