Pr. Neles Kebadii Tebai (Google.com) |
Jayapura – Masa depan Papua yang baik dibangun dengan komunikasi kontruktif, sehingga kalau ada konflik fertikal maupun horizontal, komunikasi kontruktif menjadi cara yang bermartabat untuk menyelesaikannya. Hal tersebut ditegaskan Ketua Jaringan Papua Damai (JPD) Pater Neles Tebay dalam diskusi public yang diselenggarakan oleh Indonesia Jurnalism Networking (IJN) yang berlangsung di Grand Abe Hotel, Senin (24/8/2015).
“Diskusi pagi ini mengingatkan kita kembali bahwa orang papua itu tidak bisa dibangun dengan kekerasan. Kalau dengan komunikasi bisa melibatkan banyak pihak dalam upaya menata masa depan Papua. Saya lebih menekankan perlu adanya diskusi antara sesama orang Papua untuk bagaimana sama-sama memahami membangun masa depan Papua yang lebih baik lagi,” katanya.
Sehingga, menurut Neles Tebay, orang luar yang dari luar datang dan menanyakan Papua Tanah Damai mau seperti apa orang Papua bisa menjelaskannya. “Sekarang ini, kita mau membangun Papua Tanah Damai tetapi kita semua hidup di Papua ini belum mempunyai pemahaman tentang Papua Tanah Damai seperti apa, karena itulah perlunya adanya diskusi. indikator seperti apa kita yang tentukan,” ujarnya.
Neles Tebay menambahkan, masalah-masalah apa yang menghambat Papua belum menjadi tanah damai. Dirinya mengajar seluruh orang Papua identifikasi bersama, semua masalah diakomodir maka yang terakomodir itu menjadi semua masalah orang Papua.
“Kita yang ada di Papua ini punya masalah. Untuk itu, kita berdiskusi menjadikan masalah ini terselesaikan sehingga Papua Tanah Damai bisa terwujut. Kita tidak bisa memaksakan pemerintah atau Presiden untuk menciptakan Papua menjadi Tanah Damai. Kita sendirilah yang harus menciptakan tanah ini menjadi Tanah Damai. Ppapun latar belakangnya, agama, apapun sukunya yang ada diatas tanah Papua mesti terlibat dalam upaya menatap masa depan Papua menjadi Papua Tanah Damai.
Guna menjadikan Papua sebagai Tanah Damai melalui komunikasi konstruktif, ada dua hal yang di irekomendasikan. Pertama, Pemerintah Pusat, melalui Kemenkopolhukam, perlu membentuk satu tim yang terdiri dari maksimal tiga orang yang bertugas membangun komunikasi dengan semua pemangku kepentingan dan mengatur mekanisme yang memungkinkan.
“Tiga orang ini bukanlah orang asli Papua tetapi mereka sangat dipercayai oleh rakyat Papua, mendukung komunikasi konstruktif, dan ditugaskan secara resmi oleh Presiden,” ujarnya.
Kedua, Pemda, baik Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat maupun Pemerintah Kabupaten dan Kota di Tanah Papua mesti berperan secara maksimal. Menkopolhukam perlu mengundang semua gubenur, bupati, dan walikota se Tanah Papua untuk membahas peranan Pemda dalam menjadikan Papua sebagai Tanah Damai.
“Dengan dorongan dari Pemerintah Pusat, Pemda dapat memfasilitasi pertemuan-pertemuan seperti seminar dan lokakarya di semua kabupaten/kota, untuk mendiskusikan tentang indikator-indikator dari Papua Tanah Damai yang hendak dibangun, mengidentifkasi masalah-masalah yang menghambat perdamaian di Bumi Cenderawasih, dan menawarkan sejumlah solusi yang konkrit dan terukur. Pertemuan-pertemuan ini mesti melibatkan baik orang Asli Papua maupun paguyuban-paguyuban, sehingga mereka bersama, setiakawan, dalam memperjuangkan Papua menjadi Tanah Damai,” urai Neles Tebay.
Lanjut Neles Tebay, Metodologi komunikasi konstruktif perlu dipikirkan dan dipersiakan secara matang. “kita tahu bahwa tanpa menggunakan metodologi yang tepat, suatu komunikasi yang sekalipun diakui sebagai komunikasi konstruktif tidak akan menghasilkan sesuatu yang konstruktif bagi semua pihak yang berkepentingan. Terkadang kita tergoda untuk kurang memperhitungkan metodologi yang tepat guna, entah karena menuntut waktu yang lama atau karena mengejar hasilnya. Oleh sebab itu, perlu ditegaskan lagi bahwa hasil yang konstruktif akan diperoleh melalui suatu metodologi komunikasi yang konstruktif,” tegas Neles Tebay. (Roy Ratumakin)