Fotografer :Muniroh
Hampir semua resor di Teluk Tomini dikelola oleh investor asing dan mengutamakan tamu dari mancanegara.
KADIDIRI - Jangan hanya berikan ikan pada orang lapar tapi berikan juga kail dan pancingnya. Dengan itu, ketika dia lapar, dia tidak lagi mengharapkan ikan pemberian tapi bisa kenyang dari ikan hasil pancingannya sendiri.
Kalimat bijak ini bukan sekedar urusan ikan dan perut lapar, tapi bagaimana seseorang mengusahakan keberhasilan diri sendiri dalam mengelola apa yang dia miliki. Di teluk sebelah barat Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), ada 532 pulau dengan beberapa pulau cukup besar. Bergabung dalam Kepulauan Togean, Walea Kepulauan, dan Walea Besar. Potensi pariwisatanya sangat besar mengingat tren wisata Indonesia mengarah ke wisata bawah laut. Kekayaan terumbu karang di Teluk Tomini telah dilirik wisatawan asing.
Sayang, bukan pewaris kepulauan dan keturunan penakluk lautan dan isinya ini yang menjadi pemilik, melainkan orang asing. Seperti yang pernah dialami Indonesia di masa penjajahan, pribumi hanya dilibatkan menjadi pesuruh, tidak pernah memegang kendali apalagi dipercaya mengelola fasilitas dan uang.
Salah satu resort di Pulau Kadidiri, Kadidiri Paradise, berdiri di atas tanah milik Suku Bajo. Tahun 1980-an, tanah di pinggir pantai yang penuh dengan kelapa itu dibeli oleh pengusaha asal pulau Jawa. Entah apa penyebabnya, padahal orang Bajo tersebut menjadikan tanah tersebut sebagai kebun kelapa.
Beda lagi dengan resort di sebelahnya,Black Marlin. Pengelola resort ini adalah pengusaha asal Inggris yang menikahi gadis kelahiran Teluk Tominni. Pemilik lahan, dulunya orang Bajo. Tapi, hanya sebagai tempatnya bersinggah saja, meski tetap dianggap sebagai hak milik. Pemilik lagi-lagi menjual tanahnya.
Kalimat bijak ini bukan sekedar urusan ikan dan perut lapar, tapi bagaimana seseorang mengusahakan keberhasilan diri sendiri dalam mengelola apa yang dia miliki. Di teluk sebelah barat Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), ada 532 pulau dengan beberapa pulau cukup besar. Bergabung dalam Kepulauan Togean, Walea Kepulauan, dan Walea Besar. Potensi pariwisatanya sangat besar mengingat tren wisata Indonesia mengarah ke wisata bawah laut. Kekayaan terumbu karang di Teluk Tomini telah dilirik wisatawan asing.
Sayang, bukan pewaris kepulauan dan keturunan penakluk lautan dan isinya ini yang menjadi pemilik, melainkan orang asing. Seperti yang pernah dialami Indonesia di masa penjajahan, pribumi hanya dilibatkan menjadi pesuruh, tidak pernah memegang kendali apalagi dipercaya mengelola fasilitas dan uang.
Salah satu resort di Pulau Kadidiri, Kadidiri Paradise, berdiri di atas tanah milik Suku Bajo. Tahun 1980-an, tanah di pinggir pantai yang penuh dengan kelapa itu dibeli oleh pengusaha asal pulau Jawa. Entah apa penyebabnya, padahal orang Bajo tersebut menjadikan tanah tersebut sebagai kebun kelapa.
Beda lagi dengan resort di sebelahnya,Black Marlin. Pengelola resort ini adalah pengusaha asal Inggris yang menikahi gadis kelahiran Teluk Tominni. Pemilik lahan, dulunya orang Bajo. Tapi, hanya sebagai tempatnya bersinggah saja, meski tetap dianggap sebagai hak milik. Pemilik lagi-lagi menjual tanahnya.
Hanya resort Pondok Lestari yang dikelola langsung oleh pewaris tanah di Pulau Kadidiri. Ibu Sutarni alias Niu, begitu dia dipanggil, berdarah Bugis dan bersuamikan orang Bajo.
Ketiga resort ini lebih mengutamakan permintaan menginap wisatawan mancanegara daripada domestik. Informasi soal tempat pelesir tidak banyak terdengar di dalam negeri. Sementara di belahan dunia lain, informasi soal Pulau Kadidiri diucapkan dari mulut ke mulut dan diperkuat dengan laman dunia maya.
Berbeda dengan resort yang ada di Tanjung Kramat. Jika tiga resort tadi masih membuka pemesanan untuk turis domestik, maka resort satu-satunya di Tanjung Kramat ini tidak melakukannya. Ditambah dengan ultimatum jangan pernah berani masuk ke sana sebab Anda akan diusir kalau kedapatan melanggar.
Pengelola yang berasal dari Jerman ini tidak mengizinkan turis domestik berpelesir di pulau yang dia kelola itu. Bahkan, nelayan yang tinggal dekat pulaunya dilarang mendekat dalam jarak tertentu. Tujuannya adalah menjaga keindahan pulau serta kekayaan alam laut dan penghuninya. Tujuan yang mulia sekaligus lancang.
Kelancangan ini tidak menjadi masalah besar bagi pemerintah setempat. Tindakan tersebut dianggap bagian dari sistem pengelolaan pulau oleh asing. Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sulawesi Tengah Siti Norma Mardjanu mengatakan pengelolaan pulau oleh asing bukan pelanggaran asalkan mendapat izin pengelolaan dan sepengetahuan dinas pariwisata.
“Mereka kan investor, tidak masalah,” ujarnya. Meski begitu, diakui Siti kalau sistem pengelolaan asing yang mendiskreditkan pribumi adalah kelemahan mereka. “Orang-orang lokal tidak bisa menginap, itulah kelemahan orang asing mengelola, lebih mentingin orang asing,” tuturnya.
Namun, tidak ada hukum tertulis yang mengatur soal kelancangan. Izin pengelolaan, kata Siti, hanya bisa dicabut jika terdapat pelanggaran pidana, narkotika, dan perilaku tidak menyenangkan. Hanya saja, saat ini pengelolaan pariwisata oleh asing di resort-resort Teluk Tomini itu tidak ada yang merugikan pemerintah.
Ketiga resort ini lebih mengutamakan permintaan menginap wisatawan mancanegara daripada domestik. Informasi soal tempat pelesir tidak banyak terdengar di dalam negeri. Sementara di belahan dunia lain, informasi soal Pulau Kadidiri diucapkan dari mulut ke mulut dan diperkuat dengan laman dunia maya.
Berbeda dengan resort yang ada di Tanjung Kramat. Jika tiga resort tadi masih membuka pemesanan untuk turis domestik, maka resort satu-satunya di Tanjung Kramat ini tidak melakukannya. Ditambah dengan ultimatum jangan pernah berani masuk ke sana sebab Anda akan diusir kalau kedapatan melanggar.
Pengelola yang berasal dari Jerman ini tidak mengizinkan turis domestik berpelesir di pulau yang dia kelola itu. Bahkan, nelayan yang tinggal dekat pulaunya dilarang mendekat dalam jarak tertentu. Tujuannya adalah menjaga keindahan pulau serta kekayaan alam laut dan penghuninya. Tujuan yang mulia sekaligus lancang.
Kelancangan ini tidak menjadi masalah besar bagi pemerintah setempat. Tindakan tersebut dianggap bagian dari sistem pengelolaan pulau oleh asing. Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sulawesi Tengah Siti Norma Mardjanu mengatakan pengelolaan pulau oleh asing bukan pelanggaran asalkan mendapat izin pengelolaan dan sepengetahuan dinas pariwisata.
“Mereka kan investor, tidak masalah,” ujarnya. Meski begitu, diakui Siti kalau sistem pengelolaan asing yang mendiskreditkan pribumi adalah kelemahan mereka. “Orang-orang lokal tidak bisa menginap, itulah kelemahan orang asing mengelola, lebih mentingin orang asing,” tuturnya.
Namun, tidak ada hukum tertulis yang mengatur soal kelancangan. Izin pengelolaan, kata Siti, hanya bisa dicabut jika terdapat pelanggaran pidana, narkotika, dan perilaku tidak menyenangkan. Hanya saja, saat ini pengelolaan pariwisata oleh asing di resort-resort Teluk Tomini itu tidak ada yang merugikan pemerintah.
Daripada orang asing yang mengelola, mengapa tidak percayakan ke masyarakat setempat? Siti menyatakan kurangnya keterampilan penduduk asli untuk mengelola kekayaan bumi dan lautan mereka. Kepercayaan lebih besar diberikan kepada asing untuk mengelola dan mendatangkan keuntungan.
Nampaknya, rasa kurang percaya diri penduduk asli juga menjadi penyebab mengapa pulau-pulau berpasir putih dengan pohon-pohon kelapa yang melambai-lambai ini rentan dijual. Kepala Desa Kabalutan Saiful Sofyan mengatakan di sekitar pulau Kabalutan ada tempat yang potensial sebagai tempat wisata.
Dia menunjuk ke arah barat, ada lokasi yang menurutnya bisa dijadikan taman wisata karang. Bukan hanya itu, dia juga menyebut Pulau Keje yang pasti diminati turis karena memiliki daya tarik pantai pasir putih. Namun, hingga kini belum ada yang mengelolanya.
“Belum dikelola tapi banyak turis mau ke sini bisa diantar, manatau mereka mau kelola.” Lho, kepada tidak kelola sendiri? Saiful terlihat berpikir mencari jawaban. Namun tak disangka-sangka,“belum terpikir,” ia menjawab terkekeh sambil tersipu.
Nampaknya, rasa kurang percaya diri penduduk asli juga menjadi penyebab mengapa pulau-pulau berpasir putih dengan pohon-pohon kelapa yang melambai-lambai ini rentan dijual. Kepala Desa Kabalutan Saiful Sofyan mengatakan di sekitar pulau Kabalutan ada tempat yang potensial sebagai tempat wisata.
Dia menunjuk ke arah barat, ada lokasi yang menurutnya bisa dijadikan taman wisata karang. Bukan hanya itu, dia juga menyebut Pulau Keje yang pasti diminati turis karena memiliki daya tarik pantai pasir putih. Namun, hingga kini belum ada yang mengelolanya.
“Belum dikelola tapi banyak turis mau ke sini bisa diantar, manatau mereka mau kelola.” Lho, kepada tidak kelola sendiri? Saiful terlihat berpikir mencari jawaban. Namun tak disangka-sangka,“belum terpikir,” ia menjawab terkekeh sambil tersipu.