“Ganti rugi US$3,6 miliar yang kami ajukan di luar hak ulayat dan lain-lain. Ini untuk ganti rugi kawasan kami berupa empat gunung yang selama ini menjadi wilayah kerjanya,” ujar Eltinus saat mendampingi perwakilan Suku Amungme menemui Staf Khusus Presiden, Lenius Kogoya di kantornya di Gedung Sekretariat Negara Sayap Timur Lantai 3, Jalan Veteran 3, Jakarta Pusat, Senin (29/6).
Eltinus menyatakan, dirinya bersama sejumlah warga Amungme bertujuan menemui Lenius dan perwakilan PT. Freeport Indonesia guna mencari pemahaman bersama tentang tuntutan tersebut.
"Itu selama 48 tahun tidak pernah mereka bayarkan. Kami tuntut itu harus dibayarkan dulu baru bicara yang lain-lain," tegas.
Meski belum dicapai kesepakatan soal angka permintaan warga. Namun, kata Eltinus, itu adalah nominal mutlak yang diinginkan warga Amungme, salah satu dari dua suku pemilik ulayat yang tanahnya digunakan oleh perusahaan tambang dari Amerika Serikat tersebut.
"Selama ini, pemerintah daerah dan masyarakat sudah mengadakan pertemuan dengan Freeport tapi belum menemukan jalan keluar. Freeport hanya menggantung permintaan warga Amungme," ujarnya.
Selain itu, klaim Eltinus, PTFI juga meminta warga Amungme agar menuntut hak itu pada pemerintah.
Oleh karenanya setelah Lenius diangkat menjadi orang kepercayaan Presiden Joko Widodo, masyarakat Papua memilih menyampaikan tuntutan itu lewatnya dan mengharapkan bantuan pemerintah pusat.
Eltinus menuturkan selama ini Freeport hanya membayar kewajiban 1% dari pendapatan kotornya untuk membantu masyarakat sekitar. Akan tetapi jumlah tersebut masih belum cukup dibandingkan dengan apa yang selama ini telah Freeport ambil dari Papua.
Eltinus juga menyebutkan dana 1 persen dari pendapatan kotor Freeport bukanlah ganti rugi operasi dan ganti rugi hak ulayat yang dituntutnya. Alokasi tersebut merupakan kewajiban perusahaan untuk menyejahterakan masyarakat di sekitarnya.
Menurutnya, tuntutan senilai Rp 481 triliun tersebut juga ditembuskan kepada Presiden Jokowi, agar pemerintah mau mengambil peran dalam persoalan tersebut. Apalagi, selama ini Presiden Jokowi menegaskan masyarakat Papua harus sejahtera dalam lima tahun mendatang.
“Penyampaian tuntutan ini adalah langkah pertama kami, untuk melihat niat baik Freeport. Setelah ini, bukan tidak mungkin kami mengambil langkah lain, termasuk langkah hukum,” ujar dia.
Selama ini, Freeport selalu beralasan perusahaan telah menandatangani Kontrak Karya dengan pemerintah Indonesia. Padahal, dalam adat Papua, investor harus menandatangani kerja sama dengan masyarakat sebelum dengan pemerintah.
"Selalu dikatakan bahwa di dalam kontrak kerja ini pemerintah Indonesia dengan Freeport sudah tandatangan bersama. Jadi kami diarahkan ke pemerintah terus, tiap kali. Itu tahun ke tahun jawabannya sama terus," keluh Eltinus.
Sementara itu, seorang warga Suku Amungme, Janes, berpandangan bahwa dana 1 persen yang diberikan Freeport kepada pemerintah pusat itu merupakan hasil kesepakatan atas terjadinya kerusuhan masyarakat di Tembagapura. Namun, ia menganggap uang 1 persen itu sebagai uang darah atau tebusan untuk penyelesaian konflik.
"Bukan hanya Amungme, tapi semua suku di Mimika. Kami tidak mau karena 1 persen uang darah. Oleh karena itu, kami anggap itu masuk mentah, itu bukan ke kami," kata dia.
Janes kemudian berharap pemerintah bisa menjadi penolong masyarakat kecil yang menjadi korban perusahaan swasta karena tanahnya dieksploitasi hingga mengalami kerusakan.[JPNN/Papuanesia]
berita terkait :