ISE-SHIMA, JEPANG, SATUHARPAN.COM - Di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara G7 di Jepang, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Ban Ki-moon menerima Perdana Menteri Papua Nugini, Peter Paire O'Nell. Pertemuan itu berlangsung pada 27 Mei lalu.
Menurut siaran resmi laman PBB, un.org, pertemuan itu membicarakan persiapan referendum bagi Bougainville, sebuah daerah di Papua Nugini yang dewasa ini berstatus otonomi khusus. Referendum penentuan nasib sendiri bagi kawasan itu telah disepakati berlangsung pada 15 Juni 2019.
Menurut siaran resmi PBB, selain membicarakan persiapan referendum, kedua pemimpin juga membicarakan masalah pembangunan berkelanjutan, perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana.
Dikatakan pula bahwa Sekjen PBB menegaskan kembali komitmen organisasi antarbangsa itu untuk mendukung Papua Nugini.
Pekan lalu, abc.net.au melaporkan Presiden Bougainville, John Momis, dan PM Papua Nugini, Peter O'Neill telah menyepakati kerangka kerja menuju referendum penentuan nasib sendiri pada tahun 2019 dalam pertemuan di ibukota Papua Nugini, Port Moresby.
Bougainville merupakan bagian otonom dari Papua Nugini dan selama satu dekade tenggelam dalam perang saudara dengan pemerintah pusat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Perang itu berakhir pada 1999 dengan kesepakatan, bahwa referendum penentuan nasib sendiri dilaksanakan sebelum tahun 2020.
Dalam perundingan selanjutnya disepakati proses penentuan pendapat itu akan dilaksanakan pada 15 Juni 2019.
"Dengan disepakatinya tanggal, kita dapat merencanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengadakan referendum, termasuk waktu, dana dan tenaga yang dibutuhkan untuk melaksanakan setiap langkah," kata John Momis kepada surat kabarPost Courier di Papua Nugini.
Pemerintah Papua Nugini juga telah berkomitmen untuk mempersiapkan dana referendum, dan diharapkan keputusan itu akan menghasilkan gencatan senjata penuh di Bougainville.
Beberapa faksi di Bougainville mengancam akan mengangkat senjata setelah konflik apabila PNG tidak memperbolehkan referendum, tapi Momis mengatakan kecurigaan semacam itu dapat merusak pemungutan suara.
"Saya menyerukan untuk gencatan senjata penuh, agar Bougainville siap melakukan referendum. Perjanjian Perdamaian Bougainville mengharuskan referendum bebas dan adil," kata dia.
"Seharusnya tidak ada lagi keraguan di antara rakyat Bougainville apakah referendum akan diadakan."