Pengantar
Secara Geologi-pulau Papua terbentuk
selama ratusan tahun silam sebagai pulau terbesar kedua di dunia. Cakupan
wilayah mulai dari Sorong sampai Samarai (PNG) dan dikelilingi gugusan pulau
dengan kekayaan alam yang sangat bervariatif. Kekayaan alam terbesar Papua
adalah hasil hutan dan jenis bahan mineral yang telah, sedang dan akan
dilakukan eksplorasi dan eksploitasi secara berkelanjutan untuk menopang
kehidupan manusia di dunia. Kekayaan alam Papua sebagai modal utama
keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya di atas tanah Papua
maupun suku bangsa lain yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alamnya.
Secara Antroplogis-suku bangsa Ras
Melanesia telah menempati di atas tanah Papua dengan dengan ciri khas berambut
keriting dan berkulit hitam. Suku bangsa Melanesia mencapai ratusan bahkan
ribuan diantaranya 312 suku terdapat di bagian barat pulau Papua (Sorong sampai
Merauke), sedangkan selebihnya terdapat di bagian timur termasuk negara Papua
New Guinea dan negara-negara pasifik lainnya, (Benny Giay, 2011). Proses
peradaban telah melahirkan kebudayaan permanen seperti komunitas perkampungan
alami dan struktur kekerabatan yang diikat dengan marga.
Hubungan timbal balik dengan alam
semesta membentuk karakteristik individu di setiap suku sebagaimana bahasa
daerah dan bentuk-bentuk rumah adat yang menyebar di wilayah pantai dan hilir
sungai besar, hulu sungai sungai besar dan pedalaman hutan rimba Papua serta
lembah-lembah besar pegunungan Papua.
Pemahaman korelasi antara topografi alam
dan karakter dasar suku bangsa Papua yang tercermin dalam diri individu beda
kultur harus dijadikan tolok ukur pembuatan dan penentuan strategi pembangunan
manusia Papua secara berkelanjutan.
Lebih jauh, administrasi deposit alam
yang dapat dimanifestasikan sebagai institusi sosial dan kultural, dimana
eksponen suku berperan secara konstitutif menjadi modal pembangunan Papua yang
tidak terperhatikan dalam pembangunan ala Indonesia.
Secara Filosofy-Manusia Papua telah ADA
dan untuk MENGADAKAN kehidupan di atas tanah Papua dengan kesadaran tinggi dan
dengan kebebasan yang dimilikinya. Manusia Papua dapat berpikir secara bebas
dan melakukan apa saja yang ada untuk menghidupi diri dan sesama. Manusia Papua
memiliki filsafat materi. Artinya mereka dapat berpikir dan bekerja untuk hidup
yang tercermin dalam perbuatan-perbuatan yang bersifat menguasai dan
menaklukannya. Karena itu, manusia Papua dihargai sebagai pemilik dan pengguna
tanah Papua sesuai dengan hakekatnya yaitu makhluk terhormat dan terindah di
bumi. Dimana hakekat hidupnya selalu didasari oleh adanya keinginan untuk hidup
bebas dan merdeka atas dirinya merupakan keinginan insani yang amat mendasar.
Modal dasar manusia Papua adalah akal
budi dan intelektualitas diri sebagai potensi luar bisa sebagaimana manusia
lain di dunia. Konkrit intelektualitas manusia Papua nampak dari pelaksanaan
upacara ritual seperti pendidikan inisiasi anak atau mengukir patung dengan
menggunakan kecerdasannya. Oleh sebab itu, pemaknaan keberadaan manusia Papua
harus dan mesti sama dengan manusia lain di dunia. Adalah makhluk yang paling
terindah, bernilai luhur dan terhormat di muka bumi ini.
Wujud akal budi dan intelektualitas
manusia Papua adalah adanya keinginan untuk hidup bebas dan mredeka atas
dirinya. Keinginan itu lahir secara otomatis dalam dirinya untuk hidup bebas
merdeka dalam komunitas suku masing-masing. Menurut Nico Dister (1988:5),
keinginan manusia untuk hidup dengan bebas merdeka merupakan salah satu
keinginan insani yang amat mendasar. Maka tidak mengherankan bahwa masalah
kebebasan sudah banyak disoroti dalam tulisan-tulisan di pelbagai bidang yaitu
kebebasan warga negara dibicarakan dengan hangat di bidang politik, dunia
ekonomi mengenal pasar bebas, di bidang pendidikan pun kebebasan anak didik
seringkali menjadi pusat perhatian.
Papua dalam sejarah-Pemerintah Belanda
dan Inggris memasuki tanah Papua pada abad ke 16 dan memberi nama baru “New
Guinea dan kemudian disebut Papua New Guinea”. Kedua negara kerajaan itu
membagi Papua menjadi West Papua New Guinea dan East Papua New Guinea. West
Papua New Guinea dikuasai pemerintah kerajaan Belanda dan East Papua New Guinea
dikuasai oleh pemerintahan kerajaan Inggris dan Jerman (Inggris menguasai
bagian selatan dan Jerman menguasai bagian utara dari Pulau New Guinea bagian
Timur).
Papua Timur membentuk negara berdaulat dengan nama Papua New Guinea semenjak 16 September 1975. Cakupan wilayahnya mulai dari Western Province dan Sandaun Province sampai Samarai dan kepulaun Manus, Rabaul, Bougainville dan sekitarnya. Sedangkan Papua Barat menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui PEPERA 1969, yang secara hukum internasional telah terjadi banyak kesalahan oleh Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB. Wilayahnya meliputi Raja Ampat sampai Merauke dan Jayapura.
Papua Timur membentuk negara berdaulat dengan nama Papua New Guinea semenjak 16 September 1975. Cakupan wilayahnya mulai dari Western Province dan Sandaun Province sampai Samarai dan kepulaun Manus, Rabaul, Bougainville dan sekitarnya. Sedangkan Papua Barat menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui PEPERA 1969, yang secara hukum internasional telah terjadi banyak kesalahan oleh Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB. Wilayahnya meliputi Raja Ampat sampai Merauke dan Jayapura.
Keberadaan pemerintah Belanda di Papua
Barat telah berhasil membangun manusia Papua melalui pendidikan dan penyebaran
Injil. Bidang pembangunan yang sangat menonjol adalah perluasan wilayah
administratif pemerintahan. George Junus Aditjondro (2000: xx), pemerintah
Belanda mengadakan perubahan dalam pembagian wilayah pemerintahan daerah yang
dipimpin oleh Gubernur Van Waardenburg pada tahun 1961. Pembagian daerah ini
dikutip dari Rapport inzake Nederlands-Nieuw Guiena over hat jaar tahun 1961,
terdapat pada tabel berkut.
Tabel 1. Afdeling dan ibukota dengan
wilayahnya
Urutan Afdeling
|
Wilayah Afdeling
|
Ibu Kota Afdeling
|
Jumlah Afdeeling dan Ibukota
|
I
|
Afdeling Holandia
|
Hollandia
|
Onerdafdeling Hollandia dengan ibukota Hollandia
Onderafdeling Nimboran dengan ibukota Genyem
Onderafdeling Sarmi dengan ibukota Sarmi
Onderafdeling Keerom dengan ibukota Ubrub
Ost-Bergland dengan ibukota Wamena (Daerah
Penjajakan)
|
II
|
Afdeling Geelvinkbaai
|
Biak
|
Onderafdeling Schouten-Eilanden dengan ibukota Biak
Onderafdeling Yepen/Waropen dengan ibukota Serui
|
III
|
Afdeling Cenreal Nieuew Guinea
|
Dalam penjajakan
(Enarotali)
|
Onderafdeling Paniai dengan ibukota Enarotali
Onderafdeling Tigi dengan ibukota Waghete
Onderafdeling Bidden-Bergland (Daerah Penjajakan)
West-Bergland (Daerah Penjajakan)
|
IV
|
Afdeling Zued Nieueuw Guinea
|
Merauke
|
Onderafdeling Merauke ibu kota Merauke
Onderafdeling Mappi ibu kota Mappi
Onderafdeling Boven Digul dengan ibu kota Tanah
Merah
Onderafdeling Asmat dengan ibu kota Agats
Onderafdeling Muyu dengan ibu kota Mindiptana
|
V
|
Afdeling Fak-Fak
|
Fak-Fak
|
Oderafdeling Fak-Fak dengan ibu kota Fak – Fak
Onderafdeling Kaimana dengan ibu kota Kaimana
Onderafdeling Mimika dengan ibu kota Kokonao
|
VI
|
Afdeling West-Nieuew Guinea
|
Manokwari
|
Onderafdeling Sorong dengan ibu kota Sorong
Onderafdeling Raja Ampat dengan ibu kota Doom
Onderafdeling Manokwari dengan ibu kota Manokwari
Onderafdeling Ransiki dengan ibu kota Ransiki
Onderafdeling Teminabuan dengan ibu kota Teminabuan
Onderafdeling Bintuni dengan ibu kota Steenkool
|
Tindakan perluasan wilayah administratif
pemerintahan Belanda disertai pembangunan unit-unit pendidikan berpola asrama
secara terpadu antara lain: sekolah pamong praja di Jayapura dan Merauke,
sekolah pendidikan guru di Fak-Fak, Kokonao, Biak dan Wondama, sekolah
pertanian di Manokwari, Paniai dan Fak-Fak dan sebagainya. Tujuannya adalah
mempersiapkan orang Papua agar mampu menghadapi perubahan-perubahan
perkembangan jaman.
Pemerintah Belanda memandang pendidikan
sebagai alat utama pembebasan suku bangsa di Papua barat dari kebodohan dan
kemiskinan akan pengetahuan secara modern. Agar harus terjadi enkulturasi
nilai-nilai positif yang dimiliki masing-masing suku Papua dan
mengadaptasikannya dengan budaya-budaya modern. Penerapan sistem dan model
pengembangan pendidikan ini memang disesuaikan dengan karakteristik suku bangsa
Papua, sehingga sangat mudah dalam pengembangan misi agama dan pendidikan.
Dua misi besar yang dilaksanakan
pemerintah Belanda yaitu pembangunan pendidikan berpola asrama dan pengembangan
misi pekabaran Injil. Salah seorang ahli teologi berkebangsaan Belanda yang
menginjakan kaki pertama kalinya di tanah Papua barat dan mengatakan “Di atas
batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki
kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa
ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Wasior, Manokwari,
25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne).
Ungkapan tersebut mau mengatakan bahwa pertama, manusia Papua itu sungguh
ada untuk mengadakan kehidupan di atas tanah Papua sebagai pengewantahan Yang
Maha Pencipta langit dan bumi serta segala isinya. Kedua, martabat manusia
Papua harus dihargai sebagaimana telah tertuang di dalam Alkitab yang
diimaninya dan nilai-nilai universal manusia. Ketiga, manusia Papua suatu kelak
pasti maju seperti suku bangsa lain di dunia, sehingga harus perlu dicerdaskan
berdasarkan realitasnya dengan penghayatan nilai- nilai Kristiani dan dengan
penyelenggaraan pendidikan yang sungguh memerdekakan suku Bangsa Papua.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang semakin maju dan canggih beberapa tahun terakhir telah mendorong orang Papua berkembang lebih maju dari keadaan sebelumnya, dari belum tahu menjadi tahu dan dari tidak bisa menjadi bisa. Kemajuan yang dicapai selama 50 tahun baru sekitar 0,5% dan merupakan babak baru bagi suku bangsa Papua. Ungkapan Kinzje sudah mulai dialami oleh masyarakat pribumi Papua pada akhir-akhir ini. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa dalam berbagai aspek pembangunan yang mensejahterakan manusia masyarakat Papua sejak 1969-2012 tidak menunjukkan proporsi yang signifikan, tidak ada keberpihakan yang berarti bagi keberlangsungan hidup orang Papua. Konsep pembangunan manusia Indonesia belum sungguh teraktualisasi lewat satuan-satuan pemerintahan yang ada.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang semakin maju dan canggih beberapa tahun terakhir telah mendorong orang Papua berkembang lebih maju dari keadaan sebelumnya, dari belum tahu menjadi tahu dan dari tidak bisa menjadi bisa. Kemajuan yang dicapai selama 50 tahun baru sekitar 0,5% dan merupakan babak baru bagi suku bangsa Papua. Ungkapan Kinzje sudah mulai dialami oleh masyarakat pribumi Papua pada akhir-akhir ini. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa dalam berbagai aspek pembangunan yang mensejahterakan manusia masyarakat Papua sejak 1969-2012 tidak menunjukkan proporsi yang signifikan, tidak ada keberpihakan yang berarti bagi keberlangsungan hidup orang Papua. Konsep pembangunan manusia Indonesia belum sungguh teraktualisasi lewat satuan-satuan pemerintahan yang ada.
Bagaimana Realitas
Pelaksanaan PEPERA 1969?
PEPERA lahir dengan mengikuti pergolakan
politik dunia. Telah terbukti dalam sejarah dunia secara umum dan secara
khusus, Papua Barat telah menjadi korban "PERANG DINGIN" antara dua
negara super power yakni USA dan Uni Soviet. Untuk “memperbesar serta
memperluas" wilayah kekuasaannya, maka USA telah memainkan dengan jeli,
lihai dan penuh tipu muslihatnya tanpa menghiraukan Bangsa Papua Barat sebagai
pihak yang lebih berhak dalam menentukan nasib mereka sendiri. PBB dan Belanda
ibarat "KERBAU DICOCOK LUBANG HIDUNG" dan Indonesia tertawa
terbahak-bahak penuh kegirangan sebab Amerika sebagai negara super power pada
saat itu berpihak kepadanya. Rakyat Bangsa Papua dan Tanah Papua yang kaya raya
akan segala Sumber Daya Alam-nya, jatuh ke tangan Indonesia. Betapa malangnya
orang Papua Barat menjadi obyek yang diperlakukan semau mereka tanpa mengenal
belas kasihan dan nilai-nilai kemanusiaan, lebih ironisnya justru hal ini
dilakukan oleh mereka yang selalu menyombongkan dirinya dengan AZAS DEMOKRASI yang
dibanggakan.
Persiapan-persiapan kemerdekaan Papua
yang telah dipersiapkan oleh Belanda sebagai negara penjajah pada saat itu dan
disahkan pada tanggal 19-10-1961 hanya merupakan mimpi indah sesaat saja dan
sejarah kelabu bagi generasi penerus Bangsa Papua.
Demi kepentingannya, Amerika menekan
Belanda keluar. Sebaliknya Belanda menjadikan Papua Barat sebagai ''Barang
Gadai" demi memperoleh bantuan keuangan dari USA untuk membangun negaranya
pada dekade 60-an yang hancur akibat pendudukan Jerman atas Belanda pada dekade
40-an, dan juga untuk membebaskan semua investasinya di Indonesia yang disita
oleh Indonesia pada masa itu.
Secara sepihak dibuat perjanjian antara
mereka tanpa melibatkan perwakilan Bangsa Papua dan disahkan dalam New York
Agreement pada tanggal 15-08-1962 dan implementasinya pada PEPERA 1969 dengan
isi perintahnya adalah one man one vote tetapi kemudian telah
terbukti adanya manipulasi kekuatan militer Indonesia.
Demi kepentingan pertahanan Indonesia,
maka Indonesia yang baru saja merdeka akan tapi telah mengincar Papua dan
berhasil mengocok USA dengan menggunakan momentum "Perang
Dingin"dengan meminta bantuan kepada Uni Soviet agar mendapat bantuan
keamanan demi merebut Papua. USA benar-benar kewalahan dan tanpa pikir panjang
mendesak Belanda keluar dari Papua demi membendung masuknya pengaruh KOMUNIS ke
kawasan Pasifik. Dengan demikian, dalam rangka mempertahankan eksistensi BLOK
BARAT di kawasan Pasifik dan membendung masuknya KOMUNIS ke wilayah tersebut,
maka USA menggunakan BANGSA dan TANAH PAPUA sebagai tameng dan jaminan.
Untuk kepentingan pembangunan Ekonomi
negaranya, setiap jengkal tanah Papua yang memiliki kekayaan tersendiri
sehingga terus dikuasainya. SDA yang sungguh luar biasa hebat dan beraneka
ragam ini telah menjadi incaran USA sejak awal dekade 60-an. Memang, Pulau New
Guinea sejak dahulu telah diketahui oleh negara-negara Barat bahwa deposit emas
terbesar dunia ada di Papua Barat bila dibandingkan dengan PNG yang terdapat
5:1 dengan PNG. Jadi, 5 bagian deposit emas Pulau New Guinea berada di Papua
Barat. Untuk itulah Amerika berusaha mendesak Belanda keluar dari tanah Papua
dan "menyuruh" Indonesia menggantikan posisi Belanda.
Bagi Indonesia, hal ini benar-benar
membahagiakannya tapi bagi Belanda kejadian ini adalah "SEJARAH
KELAM" yang sering mereka sebut sebagai "ZWART GESCHIEDENIS" dan
ini adalah salah satu penyebab masalah di mana Belanda berusaha melupakan Papua
selama beberapa dekade demi meredam ''sakit hatinya" itu.
Salah satu proyek terbesar dunia yang
menjadi pemicu masalah pelanggaran HAM di Papua adalah Freeport Mc.Moran Copper
& Gold Inco beroperasi di Grasberg, di mana 67% saham milik Freeport, Rio
Tinto Group (Inggris dan Australia) memiliki 13% serta Pemerintah Indonesia
mendapat 9,3% dan PT Indocopper Investama Corporation memiliki 9%. Sudah sangat
jelas bahwa Bangsa Papua secara umum dan pemilik ulayat secara khusus sama
sekali tidak diperhitungkan dalam hal ini. Semua demi kepentingan ekonomi
negara-negara dan bangsa-bangsa asing.
PEPERA 1969 sesungguhnya dilaksanakan
berdasarkan resolusi 1541 (XV) Majelis Umum PBB tahun 1960. Dalam peraturan PBB
tentang dekolonisasi menyatakan bahwa pilihan apakah yang dilakukan ketika satu
wilayah memurtuskan masa depan konstituionalnya. Di dalam resolusi itu tercatat
Deklarasi Kemerdekaan Negara dan Bangsa Kolonial mengatakan bahwa semua orang
memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Dengan demikian, menurut
resolusi 1541 (XV) Majelis Umum PBB 1960, ada tiga cara :
a) Melalui asosiasi bebas dengan Pemerintah
yang berkuasa atau dengan salah satu negara merdeka yang lain sebagai hasil
dari pilihan bebas dan sukarela oleh masyarakat wilayah tersebut dinyatakan
melalui proses informasi dan demokratis.
b) Melalui mengintegrasikan dengan
pemberian kekuatan atau dengan salah satu negara merdeka atas dasar kesetaraan
penuh antara non-pemerintahan sendiri dan independen dari negara.
c) Bila cara a dan b tidak dapat
dilaksanakan karena satu dan lain hal dalam arti salah satu Negara merdeka
tidak mampu bertanggung jawab atau gagal dalam membangun masyarakat di wilayah
tersebut maka wilayah tersebut otomatis dinyatakan MERDEKA SENDIRI tanpa alasan
apapun.
Dapatlah dipastikan bahwa masalah Papua
harus diselesaikan berdasarkan resolusi 1541 (XV) Majelis Umum PBB tahun 1960.
Apabila kita kaitkan antara poin a, b, dimana orang Papua telah berada dibawah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun orang Papua terus berusaha untuk
mengungkap kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya. Orang Papua menuntut
adanya keterlibatan pihak ketiga yang netral dalam mengungkap masalah mendasar
bagi orang Papua.
Sekarang orang Papua tidak lagi
berbicara tentang masalah Dekolonisasi, sebab Pemerintah Belanda sudah serahkan
Bangsa Papua kepada Indonesia dengan tujuan Pemerintah Indonesia membangun
orang Papua termasuk mempersiapkan masa depan politik yaitu secara bebas
memberikan kesempatan kepada orang Papua untuk memilih dengan bebas apakah
memilih berada dibawah Indonesia atau dengan salah satu negara merdeka yang
lain atau memilih untuk merdeka sendiri. Namun kenyataanya lain pemerintah
Indonesia MEMALSUKAN hak Orang Papua lewat PEPERA 1969 yang mana melanggar hak
Orang Papua dan Hukum Internasional. Dengan kata lain Indonesia
MENGINTEGRASIKAN Papua Barat kedalam Indonesia dengan pemalsuan, paksaan dan
kekerasan hal itu berjalan terus menerus sampai dengan hari ini.
Pemerintah Indonesia telah mengetahui
tentang peraturan Dekolonisasi (poin a,b,c) diatas dan kesalahannya terhadap
orang Papua dari permulaan yaitu membunuh Orang Papua dalam berbagai aspek
sampai hari ini, tidak membangun Orang Papua dengan baik. Maka pemerintah
Indonesia menawarkan OTSUS sebagai solusi "terbaik" untuk menjawab
semua persoalan di Papua, namun OTSUS tidak menjawab masalah mendasar orang Papua,
gagal total. Pemerintah Indonesia masih terus lagi menawarkan UP4B namun juga
akan gagal karena ditolak oleh Rakyat Papua. Semua program di atas (OTSUS
maupun UP4B) adalah aktivitas propaganda politik Indonesia dalam menindas hak
orang Papua.
Berdasarkan kondisi riil Papua saat ini,
maka secara jelas melalui berbagai media dan forum telah menyatakan menolak
dengan keras bentuk tawaran apapun yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia.
Sebab semuanya itu adalah propaganda politik semata-mata dan tidak menguntungkan
masa depan Rakyat Bangsa Papua, tidak akan pernah mengakui hak hidup orang
Papua di atas tanah Papua. Apakah realitas kepalsuan ini akan terus bertahan
sepanjang bangsa ini? Sekarang rakyat Papua berada pada “poin c” dari isi
Deklarasi dekolonisasi.
Pepera 1969 Adalah
Sejarah Palsu Dan Cacat Hukum
Dalam Socratez Sofyan Yoman (2011)
menyediakan data secara akurat terkait ketidakjujuran dan manipulasi hasil
Pepera 1969. Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia selalu membanggakan diri
dengan klaim bahwa Papua adalah bagian Indonesia yang sudah final melalui
PEPERA 1969 dan Papua merupakan bekas jajahan Belanda sehingga otomatis masuk
dalam Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun pertanyaannya ialah : (1)
Mengapa penduduk asli Papua tidak pernah mengakui dan menerima PEPERA 1969 tapi
sebaliknya secara konsisten melakukan perlawanan terhadap sejarah
diintegrasikannya Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia? (2) Apakah rakyat dan
bangsa Papua Barat yang beretnis Melanesia ini keliru dalam memahami sejarah diintegrasikan
Papua ke dalam wilayah Indonesia? (3) Kalau status Papua sudah final dalam
Indonesia, mengapa harus ada UU No. 21 Tahun 2001 sebagai solusi politik yang
final? (4) Mengapa Indonesia masih juga mau memberikan UP4B dalam menyambung
kegagalan UU No.21 tahun 2001 yang telah terbukti gagal total?
Keempat pertanyaan ini mengandung alasan
yang kuat karena menuntut rasa keadilan dan pengakuan hak bangsa Papua. Karena
dalam proses dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia, militer Indonesia memainkan
peran sangat besar dalam proses pelaksanaan dan sesudah PEPERA 1969. Terlihat
dalam dokumen militer: “Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah
Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967,
berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No. TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967,
perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969: “Mempergiatkan segala
aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material
dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan darat maupun
dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969
harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada
harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos
yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing
koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR”. “Pada 14 Juli 1969, PEPERA
dimulai dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu
kelompok besar tentara Indonesia hadir…” (Sumber: Laporan resmi PBB: Annex 1,
paragraph 189-200).
Adapun Surat Rahasia dari Komando
Militer Wilayah XVII Tjenderawasih, Kolonel Infantri Soemarto-NRP.16716, kepada
Kamando Militer Resort-172 Merauke tanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status
Surat Rahasia, Perihal: Pengamanan PEPERA di Merauke. Intin isi surat rahasia
adalah sebagai berikut: “Kami harus yakin untuk kemenangan mutlak referendum
ini, melaksanakan dengan dua metode biasa dan tidak biasa. Oleh karena itu,
saya percaya sebagai ketua Dewan Musyawarah Daerah dan MUSPIDA akan menyatukan
pemahaman dengan tujuan kita untuk menggabungkan Papua dengan Republik
Indonesia” (Sumber: Dutch National Newspaper: NRC Handelsbald, March 4, 2000).
Tidak saja masyarakat asli Papua yang
melakukan perlawanan aneksasi Papua dan dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia.
Tetapi, perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengawasi PEPERA 1969
di Papua Barat, Dr. Fernando Ortiz Sanz juga menyatakan dalam melaporkannya bahwa
“Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-pengamatan saya tentang
pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan
hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan
berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang tetap, syarat-syarat
yang penting ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pelaksanaan administrasi
dalam setiap kesempatan diadakan pengawasan politik yang ketat terhadap
penduduk pribumi.
Ortiz menyatakan pula, “penjelasan
orang-orang Indonesia atas pemberontakan Rakyat Papua sangat tidak dipercayai.
Sesuai dengan penjelasan resmi, alasan pokok pemberontakan Rakyat Papua yang
dilaporkan administrasi lokal sangat memalukan. Karena, tanpa ragu-ragu
penduduk Irian barat dengan pasti memegang teguh berkeinginan merdeka” (Sumber:
Laporan Resmi Hasil PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260). Dr.
Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969
menyatakan: “ Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah
dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka”
(Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47).
Berhubungan dengan kepalsuan sejarah
pelaksanaan PEPERA 1969 dibawah tekanan militer Indonesia, anggota resmi PBB
juga melakukan protes keras dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969 oleh anggota
resmi PBB. Mereka (anggota PBB) mempersoalkan pelaksanaan PEPERA yang penuh
dengan kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum internasional.
Karena, hasil PEPERA 1969 itu dianggap melanggar hukum internasional, maka
dalam Sidang Umum PBB hanya mencatat “take note”. Istilah “take note” itu tidak
sama dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam
pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat. Hasil PEPERA 1969 tidak disahkan tapi
hanya dicatat karena perlawanan sengit dari beberapa Negara anggota PBB yang
dimotori oleh pemerintah Ghana. Itu menjadi terbukti dalam arsip resmi di
kantor PBB, New York, Amerika Serikat, terbukti: “ …156 dari 179 pernyataan
yang masih tersimpan, sesuai dengan semua yang diterima sampai tanggal 30 April
1969, dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59
pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah netral” (Sumber resmi: Dok
PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from
unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series 100,
Box 1, File 5).
Duta Besar pemerintah Ghana, Mr. Akwei,
memprotes dalam Sidang Umum PBB dengan mengutip laporan Dr. Fernando Ortiz Sanz
tentang sikap Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang
ditunjukkan kepada peserta PEPERA di Papua Barat. “yang dilaporkan oleh
perwakilan Sekretaris Umum bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan
pemilihan bebas adalah fenomena asing dimana Menteri Dalam Negeri naik di
mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia meminta
anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan
mengajak bahwa mereka satu ideologi Pancasila, satu bendera, satu pemerintah,
satu Negara dari sabang sampai Merauke…”.
Sedangkan Duta Besar pemerintah Gabon,
Mr. Davin, mengkritik sebagai berikut: “setelah kami mempelajari laporan ini,
utusan pemerintah Gabon menemukan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit
bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk
musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibingungkan luar biasa dengan
keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata
terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan
prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan
pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta sidang untuk
memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya luar biasa.
Kami harus menanyakan kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumlah
bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekreratis Jenderal.
Contoh, kami dapat bertanya:
a. Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah
dan tidak dipilih oleh rakyat?
b. Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam
pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya sebentar saja?
c. Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan kata lain,
oleh perwakilan pemerintah?
d. Mengapa hanya organisasi pemerintah dan
bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?
e. Mengapa prinsip “one man, one vote” yang direkomendasikan oleh perwakilan
Sekretaris Jenderal tidak dilaksanakan?
f. Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang
dihadiri pemerintah dan militer?
g. Mengapa para menteri dengan sengaja
hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan umum dengan menyampaikan mereka
bahwa “hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka
berkeinginan tinggal dengan Indonesia?
h. Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal
XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan
pendapat; berserikat dan berkumpul tidak dinikmati oleh seluruh penduduk asli
Papua?
Beberapa pertanyaan di atas adalah
protes dan kritik keras kelompok Negara-Negara Afrika karena sejak tahun 1961
telah bersimpati terhadap persoalan-persoalan Papua” (Doroglever, hal. 784).
Berkaitan rekayasa pelaksaan PEPERA 1969 ini, para sejarawan juga menemukan
bukti-bukti kepalsuan. J.P. Drooglever menemukan dalam penelitiannya : “Laporan
akhir Sekjen PBB seluruhnya didasarkan pada laporan Ortiz Sanz tentang
peranannya dalam pelaksanaan Kegiatan Pemilihan Bebas. Laporan ini hanya berisi
kritik yang lemah terhadap oposisi dari pihak Indonesia. Atas dasar ini, U.
Thant tidak bisa berbuat lain kecuali menyimpulkan bahwa suatu Kegiatan
Pemilihan Bebas telah dilaksanakan. Ia (U.Thant) tidak bisa menggunakan kata
depan yang tegas (the), karena nilai-nilai proses itu jauh di bawah standar
yang diatur dalam Persetujuan New York. Walaupun dapat ditafsirkan sebagai
suatu penilaian yang mencibir, tetapi pihak-pihak yang justru mengabaikan
pengkalimatan yang tidak jelas dalam persetujuan New York itu” (hal.784).
(Sumber: Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri”.
Lebih lanjut Drooglever mengatakan, “menurut pendapat para pengamat Barat dan
orang-orang Papua yang bersuara mengenai hal ini, tindakan Pilihan Bebas
berakhir dengan kepalsuan, sementara sekelompok pemilih yang berada di bawah
tekanan luar biasa tampaknya memilih secara mutlak untuk mendukung Indonesia”
(hal. 783). Ini bertentangan dengan “…karakter nasional yang sama sekali
berbeda dan hampir tidak ada paham nasionalisme Indonesia di kalangan
orang-orang Papua” (2010: hal.775).
Dr. Hans Meijer, Sejarawan Belanda dalam
penelitiannya yang berhubungan dengan hasil PEPERA 1969 di Papua Barat
menyatakan bahwa “PEPERA 1969 di Papua Barat benar-benar tidak demokratis.
Sebagian besar hal menarik adalah tentang dokumen-dokumen yang benar-benar
tertulis dalam arsip. Sebab Menteri Luar Negeri, Lunz, dia menyatakan secara
jelas dalam arsip surat bahwa dia percaya PEPERA 1969 dilaksanakan dengan cara
tidak jujur sebab jikalau jujur orang-orang Papua bersuara melawan Indonesia….,
sungguh-sungguh itu tidak demokratis dan itu lelucon. Lunz juga pernah
mengadakan pertemuan sangat rahasia dengan Menteri Luar Negeri Indonesia (Adam
Malik) bahwa Belanda meninggalkan Papua ketika PEPERA dilaksanakan. Bahwa
Belanda telah mengetahui bahwa PEPERA 1969 benar-benar tidak demokratis,
walaupun demikian Belanda tidak berbuat apa-apa tentang itu.
Mr. Saltimar adalah Duta Besar Belanda
di Jakarta, pada waktu pelaksanaan PEPERA, dia menulis surat kepada Mr. Schiff
sebagai Sekretaris Umum Luar Negeri bahwa tentu saja dia melihat banyak hal
yang salah tetapi itu bukan tanggungjawab untuk melaporkan tentang itu dalam
dokumen-dokumen resmi. PEPERA 1969 adalah suatu penghinaan dan itu sesungguhnya
tidak jujur dan itu perlu ditinjau kembali. “ (Documents show Dutch support for
West Papua take-over, ABC Radio National Asia/Pasific Program.first
broadcasting, 17 April 2001).
Akademisi Inggris, Dr. John Saltford
yang melalukan penyelidikikan hasil pelaksanaan PEPERA 1969 menyatakan: “tidak
ada kebebasan dan kesempatan dalam perundingan-perundingan atau proses
pengambilan keputusan orang-orang Papua Barat dilibatkan. Jadi, PBB, Belanda
dan Indonesia gagal dan sengaja sejak dalam penandatanganan tidak pernah
melibatkan orang-orang Papua untuk menentukan nasib sendiri secara jujur” (John
Salford: United Nations Involment With the Act of Free Self-Determination in
West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968 to 1969). Saltford menyatakan,
“bahwa Dr. Fernando Ortiz Sanz sendiri menyampaikan laporan bahwa banyak
pernyataan yang dia terima dalam akhir minggu tahun 1969 adalah melawan
Indonesia. Dengan demikian, alasan yang dapat diterima dalam kesimpulan bahwa
jumlah sedikitnya 60% pernyataan ditujukan kepada PBB adalah melawan Indonesia
dan setuju referendum secara jujur dan terbuka. Karena itu, Ortiz Sanz sendiri
memilih untuk berhati-hati dalam Sidang Umum PBB atau dia telah disampaikan
untuk melakukan pembohongan itu oleh U.Thant”.
Pemerintah Amerika Serikat juga mengakui
orang-orang asli Papua berkeinginan kuat untuk merdeka. “Pada bulan Juni 1969,
Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota Tim PBB,
Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia): “bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan
kemerdekaan Papua” (Sumber: Summarey of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969,
in NAA, Extracts given to author by Anthony Bamain).
Pengakuan itu tidak saja datang dari pemerintah Amerika Serikat tetapi juga datang dari pemerintah Indonesia Sudjarwo, mengakui: “ banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia” (Sumber Resmi: UNGA Official Records MM ex 1, paragraph 126).
Pengakuan itu tidak saja datang dari pemerintah Amerika Serikat tetapi juga datang dari pemerintah Indonesia Sudjarwo, mengakui: “ banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia” (Sumber Resmi: UNGA Official Records MM ex 1, paragraph 126).
Akibat dari rekayasa dan kepalsuan
pelaksanaan PEPERA 1969 ini, belakangan ini datang berbagai tekanan dan gelombang
protes untuk tinjau kembali status politik Papua.
Tekanan-tekanan itu dari dari anggota Kongres Amerika, Parlemen Inggris, Uni Eropa, Irlandia dan berbagai Negara.
Tekanan-tekanan itu dari dari anggota Kongres Amerika, Parlemen Inggris, Uni Eropa, Irlandia dan berbagai Negara.
Pada 31 Januari 1996, Parlemen Irlandia
mengeluarkan resolusi tentang West Papua. Bunyi resolusi sebagai berikut.
“Ketidakjujuran pelaksanaan PEPERA 1969 sebagai pernyataan yang tidak murni
dalam penentuan nasib sendiri orang-orang West Papua. Maka Parlemen Irlandia
menyerukan kepada Pemerintah Irlandia meminta kepada PBB untuk menyelidiki
pelaksanaan PEPERA yang menindas dan mengkhianati hak-hak asasi manusia dan
mempertanyakan pengabsahan PEPERA 1969”.
Melihat akar permasalahan sejarah
diintegrasikannya Papua ke delam wilayah Indonesia yang penuh rekayasa,
kepalsuan dan cacat hukum seperti ini diperlukan penyelesaian yang berprospek
damai, bermartabat dan manusiawi harus ditemukan antara penduduk asli Papua
dengan pemerintah Indonesia yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.
Pada 19 Juli 2002, 34 Anggota Parlemen Uni Eropa menyerukan kepada Komisi dan Parlemen Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB, Kofi Annan, dengan pernyataan sebagai berikkut: “PEPERA 1969 lebih daripada lelucon. Jumlah 1.025 orang Papua, semuanya dipilih oleh penguasa Indonesia yang diijinkan untuk menyuarakan dengan menyatakan tidak ada pengawasan PBB, masa depan orang-orang Papua Barat 800.000 penduduk asli, mereka serentak bersuara tinggal dengan Indonesia. Menyerukan kepada Dewan dan Komisi Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB yang berhubungan dengan PEPERA 1969 dan mempertimbangkan kembali penentuan nasib sendiri di Papua Barat untuk menciptakan stabilitas wilayah Asia Timur Selatan” (baca: Laporan Komisi Uni Eropa, the EC Conflict Prevention Assessment Mission: Indonesia, March, 2002, on unrest in West Papua).
Pada 19 Juli 2002, 34 Anggota Parlemen Uni Eropa menyerukan kepada Komisi dan Parlemen Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB, Kofi Annan, dengan pernyataan sebagai berikkut: “PEPERA 1969 lebih daripada lelucon. Jumlah 1.025 orang Papua, semuanya dipilih oleh penguasa Indonesia yang diijinkan untuk menyuarakan dengan menyatakan tidak ada pengawasan PBB, masa depan orang-orang Papua Barat 800.000 penduduk asli, mereka serentak bersuara tinggal dengan Indonesia. Menyerukan kepada Dewan dan Komisi Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB yang berhubungan dengan PEPERA 1969 dan mempertimbangkan kembali penentuan nasib sendiri di Papua Barat untuk menciptakan stabilitas wilayah Asia Timur Selatan” (baca: Laporan Komisi Uni Eropa, the EC Conflict Prevention Assessment Mission: Indonesia, March, 2002, on unrest in West Papua).
Pada 17 Februari 2005, Eni F.H.
Faleomavaega menyurat kepada Pemerintah Amerika, “Pada tahun 1969, Indonesia
menyusun suatu pemilihan yang banyak berkaitan operasi yang brutal. Yang
diketahui sebagai suatu “Act of– No Choice” atau hukum yang tidak ada pemilihan,
1.025 pemimpin Papua Barat dibawah pengawasan militer yang kuat diseleksi untuk
memilih atas nama 809.327 orang Papua barat untuk status politik wilayah itu.
Perwakilan PBB dikirim untuk mengawasi dan melaporkan hasil proses pemilihan
dan laporannya yang berbeda yang penghancuran serius Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa”.
Pada 14 Februari 2008, Eni F.H.
Faleomavaega dan Donald Payne, Anggota Kongres Amerika melayangkan surat kepada
Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon, (Referendum-PEPERA 1969)
bagi orang asli Papua itu dengan jelas menunjukkan bahwa tidak pernah
dilaksanakan. Dalam fakta, 37 (tiga puluh tujuh) Anggota Kongres Amerika telah
menulis surat, pada tahun 2006, kepada Tuan Annan meminta bahwa PBB tinjau
kembali untuk melaksanakan peneperimaan “PEPERA 1969” itu.
Pada 1 Desember 2008, di gedung Parlemen
Inggris, London, Hon. Andrew Smith, MP, dan The Rt. Revd. Lord Harries of
Pentregarth dan 50 anggota Parlemen dari berbagai Negara menyatakan: “kami yang
bertanda tangan di bawah ini dengan jujur dan benar mengakui penduduk asli
Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri (Self-Determination), karena masa
depan mereka dihancurkan melalui PEPERA 1969 “Act of Free Choice 1969”. Kami
menyerukan kepada pemerintah-pemerintah melalui PBB mengatur untuk pelaksanaan
penentuan nasib sendiri dengan bebas dan jujur. Penduduk asli Papua Barat dapat
memutuskan secara demokratis masa depan mereka sendiri sesuai dengan
standar-standar hak asasi Internasional, prinsip-prinsip hukum Internasional, dan
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa”.
Pembangunan Papua
Barat Selama 42 Tahun Setelah Pepera
Rakyat Papua Barat menyadari sungguh
bahwa mereka tidak pernah diakui sebagai warga negara Indonesia selama 42 tahun
berjalan. Terbukti sejak tahun 1969 sampai dengan sekarang semua kebijakan
selalu di-backup oleh militer, sehingga terjadi marjinalisasi dan diskriminasi
dalam berbagai aspek pembangunan di seluruh tanah Papua.
Banyak peristiwa disana, seperti pemberlakuan DOM yang dilancarkan sejak:
Banyak peristiwa disana, seperti pemberlakuan DOM yang dilancarkan sejak:
· Operasi Naga yang kemudian diganti menjadi Operasi Djayawijaya dipimpin
oleh Kapten Infantri Benny Moerdani pada tahun 1963 mulai dengan,
· Operasi Sadar pada tahun 1965 di bawah pimpinan Pangdam Tjenderawasih R.
Kartidjo,
· Operasi Baratha Yudha 1966-1967 dipimpin oleh Brigjen R.Bintoro,
· Operasi Wibawa tahun 1969 dipimpin oleh Pangdam Sarwo Edi,
· Operasi Pamungkas tahun 1971 di Biak dipimpin oleh Dandim Biak Mayor R.A
Hendrik dan Mayor Puspito serta di Manokwari dipimpin oleh Mayor Ahmad dan
dilanjutkan oleh Letkol S.Mardjan,
· Operasi Koteka pada april-juni tahun 1977 adalah operasi TNI yang terburuk
dan memakan korban terbanyak dipimpin oleh Pangdam Tjenderawasih Brigjen Imam
Munandar,
· Operasi Senyum pada tahun 1977-1978 oleh Jenderal M. Yusuf,
· Operasi Gagak I pada tahun 1985-1986 dipimpin oleh Pangdam Mayjen
H.Simanjuntak,
· Operasi Gagak II pada tahun 1986-1987 oleh Pangdam Mayjen Setiana,
· Operasi Kasuari 01 pada tahun 1987-1988 dipimpin oleh Pangdam Trikora
Mayjen Wismoyo Arismunandar,
· Operasi Kasuari 02 pada tahun 1988-1989 oleh Pangdam Trikora Mayjen Wismoyo
Arismunandar,
· Operasi Rajawali 01 pada tahun 1989-1990 oleh Pangdam Trikora Mayjen
Abinowo serta,
· Operasi Rajawali 02 pada tahun 1990-1991 oleh Pangdam Mayjen Abinowo.
Bahwa sekalipun DOM telah dicabut pada
akhir dekade 90-an namun sampai saat ini perampasan hak ulayat, penahanan tanpa
mengikuti proses dan prosedur hukum yang semestinya, penculikan dan pembunuhan
baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi masih terus terjadi di
Papua,pelanggaran HAM telah terjadi dalam setiap aspek kehidupan Orang Asli
Papua.
Selain itu terjadi pula Dominasi
Penguasaan Sistem Birokrasi di kantor-kanor pemerintahan dan partai politik dan
sebagainya. Kondisi ini membuat rakyat Papua trauma mendalam dan semakin tidak
percaya bangsa ini terhadap pemerintah Indonesia. Apalagi pada saat ini, di era
modern dan demokrasi masih terus melancarkan serangan-serangan terhadap
berbagai aktivis HAM, pergerakan Pemuda, Tokoh Agama, Tokoh Adat dan sebagainya
yang mau menyuarakan rasa ketidakjujuran dan ketidakadilan yang mereka (bangsa
Papua) alami.
Pada bidang pemerintahan secara teknis
masih dikuasai oleh orang non Papua, yang adalah perpanjangan tangan pemerintah
pusat dan militer Indonesia. Alasan mendasar bagi pemerintah pusat dan
sederajatnya yang kami jumpai adalah Orang Asli Papua tidak mampu secara
akademik sehingga tidak dapat mengendalikan pekerjaan-pekerjaan di pemerintahan
dan sejuta alasan serta kekwatiran-kekwatiran lainnya.
Pertanyaan muncul, apakah semua yang
terjadi selama 42 tahun di Papua Barat itu turun dari langit? Apakah realitas
keberadaan rakyat Papua memang demikian adanya sejak dahulu kala dan tidak bisa
mengikuti perubahan jaman modern ini? Bukankah ini akibat dari kebijakan
pemerintah Indonesia sendiri? Kalau begitu, siapa yang harus mengakui dan
bertanggung jawab atas realitas pembangunan di seluruh tanah Papua? Siapa yang
harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM Papua selama 42 tahun?
Jawaban beberapa pertanyaan tersebut,
kembalikan kepada pelurusan dan pengakuan sejarah yang kelam itu. Prinsip dasar
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan perdamaian di Papua tidak akan pernah
ada sejauh masalah mendasarnya tidak diselesaikan secara bermartabat dan
berkeadilan. Jadi, sebelum membicarakan kesejahteraan dan kedamaian manusia
masyarakat Papua, harus terlebih dahulu “menyembuhkan luka batin rakyat Papua
yang telah membusuk dan mendalam” selama 42 tahun itu.
Rakyat Papua, rakyat Indonesia dan
masyarakat dunia sudah tahu atas semua kebijakan dan perilaku pemerintah
Indonesia dalam pembangunan Papua Barat. Konsep otonomi khusus sudah sangat
jelas berpihak kepada rakyat Papua tetapi masih dikendalikan seluruhnya oleh
pemerintah Pusat. Akibatnya masyarakat Papua sangat tidak percaya lagi kepada
pemerintah pusat dan menyatakan Otonomi Khusus gagal total dalam membangun
manusia masyarkat Papua, akhirnya dikembalikan melalui MRP tahun 2005. Setelah
adanya penolakan terhadap implementasi Otsus, maka sekarang dimunculkan lagi
dengan UP4B yang jelas-jelas menunjukkan ketakutan luar biasa atas kegagalan
membangun Papua. Ketakutan ini muncul karena sudah ada intervensi, mendapat
desakan-desakan dunia Internasional sebagai donatur dana Otonomi Khusus Papua
yang telah digagalkan itu.
Undang-Undang No 21 Tahun 2001 adalah
solusi politik atau bargaining politik antara 0rang Papua dan bangsa Indonesia, untuk
melindungi rakyat Papua, pemberdayaan orang asli Papua, keberpihakan kepada
orang asli Papua. Tetapi, dalam realitasnya, Otonomi Khusus memang benar-benar
gagal. Otonomi Khusus benar-benar menjadi mesin pembunuh masa depan rakyat dan
bangsa Papua. Otonomi Khusus benar-benar menjadi alat ampuh proses pemusnahan
etnis Papua yang lebih aman, cepat, sistematis dan tidak menimbulkan
kecurigaan-kecurigaan dari masyarakat Internasional yang peduli tentang
kemanusiaan. Otonomi Khusus adalah lembaga yang memperpanjang penderitaan,
tetesan dan cucuran air mata penduduk asli Papua. Otonomi Khusus adalah solusi
dan keputusan politik tentang status politik Papua ke dalam Indonesia yang
telah gagal. Otonomi Khusus adalah mesin penghancur yang benar-benar
meminggirkan, memarjinalkan penduduk asli Papua dari segala aspek. Otonomi
Khusus adalah PEPERA 1969 jilid kedua yang telah gagal dan telah menjadi
persoalan baru (Socratez, 2011).
Bagaimana pun juga, rakyat Papua dan
dunia Internasional sudah mengetahui atas semua yang telah menjadi kebijakan
dan implementasi sejumlah program pemerintah Indonesia di Papua Barat. Saya
percaya masalah Papua akan terselesaikan secara bermartabat sebagai suatu
bangsa, mesti harus tinjau ulang PEPERA 1969 dengan mengacu pada reslousi 1541
(XV) Majelis Umum PBB tahun 1960. Karena semua kebijakan atas pembangunan Papua
menuju kesejahteraan dan mewujudkan perdamaian sudah gagal total. Yang hanya
bisa menciptakan marginalisasi dan diskriminasi, pelanggaran HAM yang semakin
meningkat, dan pengeksploitasian SDA secara besara-besaran dan sebagainya.
Aspek mendasar yang menjadi cerminan
kegagalan atas semua kebijakan pemerintah dengan jaminan PEPERA 1969 adalah
pendidikan Papua selam 42 tahun tidak pernah dibangun sesuai kondisi dan
situasi Papua, yang kemudian orang Papua selalu dicap, dianggap masih bodoh,
rendah bahkan sedang tersingkirkan dari keberadaannya. Padahal pendidikan
sebagai tolok ukur untuk menjawab kesejahteraan dan keadilan atau perekonomian,
kesehatan, pembangunan infrastruktur, kebudayaan dan sebagainya. Kebutuhan
mendasar ini saja tidak dibangun, apalagi yang lain?
Kesimpulan
Rakyat Papua Barat mengharapkan
pengembalian hak dan harga dirinya melalui cara yang bermartabat. Mereka adalah
manusia bermartabat sama seperti bangsa lain di dunia. Mereka akan mau mengakui
martabat suku bangsa lain apabila luka batin yang mendalam itu tersembuhkan.
“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang
memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin
bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Wasior,
Manokwari, 25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne).
Saya percaya masalah Papua akan
terselesaikan secara bermartabat sebagai suatu bangsa, mesti harus tinjau ulang
PEPERA 1969 dengan mengacu pada resolusi 1541 (XV) Majelis Umum PBB tahun 1960.
Karena semua kebijakan atas pembangunan Papua menuju kesejahteraan dan
mewujudkan perdamaian sudah gagal total. Yang hanya bisa menciptakan
marjinalisasi dan diskriminasi, pelanggaran HAM yang semakin meningkat, dan
pengeksploitasian SDA secara besara-besaran untuk kepentingan ekonomi negara
tanpa peduli pada hak ulayat kaum pribumi Papua.
Daftar Refrensi
________________________________________________________________________
Makalah disampaikan
pada SEMINAR NASIONAL “MENUJU KESEJAHTERAAN & KEADILAN PAPUA SETELAH 43
TAHUN PEPERA 1969” yang dilaksanakan kerjasama Fakultas Hukum UGM, Metro TV,
Majalah Gatra, Lingkar Pelangi Nusantara (LPN) dan Lembaga Intelektual Tanah
Papua (LITP) di Kampus UGM Yogyakarta Tanggal 09 Juli 2012.
Droglever. P.J. 2005. Tindakan Pilihan
Bebas. Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri: Kanisius Yogyakarta.
Giayi. Benny. 2011. Hidup dan Karya Jhon
Rumbiak. Gereja, LSM dan Perjuangan HAM Dalam Tahun 1980an di Tanah Papua.
Deiyai West Papua.
Soekadijo.RG & Aditjondro. 2001. Belanda
Di Irian Jaya : Garba Budaya Jakarta.
Sofyan Socrates. 2011. West Papua
Persoalan Internasional. Cendrawasih Press : West Papua
_____________. 2011. Gereja & Politik Di Papua Barat. Cendrawasih Press : West Papua
Mr. M. Bame. 2010. Sekilas Sejarah Revolusi,Tantangan,Terobosan Dan Dukungan. Artikel Internasiona
_____________. 2011. Gereja & Politik Di Papua Barat. Cendrawasih Press : West Papua
Mr. M. Bame. 2010. Sekilas Sejarah Revolusi,Tantangan,Terobosan Dan Dukungan. Artikel Internasiona