kabar amugi kibah--Aspek kemandirian daerah yang berusaha diperjuangkan pascareformasi justru kini semakin melempem di era kedigdayaan otonomi daerah. Cukup mudah secara statistik untuk menentukan daerah sudah mandiri atau belum. Salah satu komponen yang bisa dianalisis adalah besaran PAD (pendapatan asli daerah). PAD mengacu pada hasil pemanfaatan potensi yang dimiliki oleh daerah bersangkutan kemudian dihitung sebagai pendapatan daerah.
Di Indonesia ternyata rata-rata penerimaan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dari komponen PAD sangatlah kecil, hanya sebesar 23,2 persen dari total pendapatan (diolah dari DJPK Kemkeu, 2014). Rendahnya pendapatan dari komponen PAD mengakibatkan daerah bergantung pada komponen pendapatan lain. Salah satu yang terbesar adalah dana perimbangan. Dana perimbangan bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhannya. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari tidak meratanya kondisi keuangan dan ekonomi antardaerah, sehingga komponen pendapatan ini ditujukan untuk mengimbangi keuangan horizontal antardaerah, mengurangi kesenjangan vertikal pusat-daerah, mengatasi persoalan efek pelayanan publik antardaerah, dan untuk menciptakan stabilitas aktivitas perekonomian di daerah (Abdullah dan Halim, 2003).
PAD jelas berbeda dengan dana perimbangan. Gampangnya, PAD mensyaratkan proses dan optimalisasi, sedangkan dana perimbangan cenderung bersifat transfer atau grants. Karena sifatnya adalah transfer dana perimbangan tidak mencerminkan kapasitas fiskal daerah. Justru sebaliknya, semakin besarnya porsi penerimaan daerah dari komponen dana perimbangan, semakin rendah sebenarnya tingkat kemandirian daerah tersebut.
Di Indonesia, porsi rata-rata pendapatan daerah dari komponen dana perimbangan mencapai angka 62,5 persen (diolah dari DJPK Kemkeu, 2014). Artinya rata-rata daerah di Indonesia lebih dari setengah total dananya yang dikelola berasal dari pusat, bukan hasil kerja daerah itu sendiri. Bahkan, data DJPK Kemkeu tahun 2014 menunjukkan bahwa kecenderungan yang muncul sejak 2011 adalah dana perimbangan secara konsisten selalu berada di atas 60 persen, sebaliknya PAD hanya di kisaran 20 persen saja. Akhirnya, cita-cita berdesentralisasi justru tidak tercapai, bahkan semakin mengukuhkan posisi mayoritas daerah yang sumber fiskalnya di tangan pemerintah pusat.
Rendahnya Kemandirian DOB
Konsep pemekaran daerah berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan sarana untuk meningkatkan kapasitas daerah tertinggal yang memiliki potensi. Acuan utamanya adalah semakin otonom suatu daerah yang memiliki potensi maka semakin mudah untuk daerah tersebut menyejahterakan masyarakat. Namun, alih-alih pengembangan potensi, besarnya dana perimbangan yang akan diterima oleh DOB (daerah otonom baru) kemudian menjadi opportunity bagi banyak daerah guna memunculkan ide pemekaran daerah.
Konsep pemekaran daerah berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan sarana untuk meningkatkan kapasitas daerah tertinggal yang memiliki potensi. Acuan utamanya adalah semakin otonom suatu daerah yang memiliki potensi maka semakin mudah untuk daerah tersebut menyejahterakan masyarakat. Namun, alih-alih pengembangan potensi, besarnya dana perimbangan yang akan diterima oleh DOB (daerah otonom baru) kemudian menjadi opportunity bagi banyak daerah guna memunculkan ide pemekaran daerah.
Setidaknya ada dua kecenderungan yang bisa disepakati. Pertama, daerah tidak harus menjadi mandiri untuk mendapatkan transfer dana perimbangan dari pusat, sehingga dana perimbangan dianggap sebagai gift. Kedua, karena proyeksi pendapatan terbesar dari dana perimbangan, maka pengembangan potensi untuk meningkatkan PAD bukan menjadi fokus utama DOB, karena jelas DOB harus memastikan kesiapan kapasitas sumber daya internal pemerintah terlebih dahulu sebelum membicarakan lebih jauh mengenai kemandirian daerah. Pada level tersebut dana perimbangan menjadi sebuah kewajiban karena dana perimbangan memegang spirit kesetaraan yang jelas DOB belum setara, minimal dengan daerah indukya.
Bahaya dari kesalahan pengelolaan keuangan daerah terhadap konsep pemekaran daerah yang paling ekstrem adalah ide memekarkan daerah terkadang tidak mempertimbangkan terlebih dahulu mengenai bagaimana kesiapan daerah dan apa yang menjadi fokus pengembangan kemandirian. Indikasi ini dapat terlihat dalam pengelolaan APBD beberapa DOB. Data dari DJPK Kemkeu untuk APBD 2014, Kabupaten Intan jaya misalnya yang baru terbentuk pada 2012 lalu, PAD-nya hanya 0,2 persen dari total pendapatan sedangkan porsi dana perimbangan mencapai 85 persen. Hal yang sama terjadi pada Kabupaten Pesawaran yang terbentuk pada 2007. PAD-nya hanya 0,3 persen dibandingkan dana perimbangan mencapai 82 persen. Selebihnya, bahkan banyak DOB yang PAD-nya tidak mencapai 10 persen dari total pendapatan, seperti Kabupaten Mamuju utara, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Papua Barat, dan masih banyak lagi.
Rendahnya PAD dan tingginya ketergantungan DOB terhadap pemerintah pusat menunjukkan bahwa pemekaran daerah harus lebih sensitif terhadap masalah pengelolaan keuangan daerah. Hasil evaluasi terhadap daerah hasil pemekaran oleh Dirjen Otonomi Daerah Kemdagri (2011) menunjukkan bahwa kelemahan DOB untuk menjadi mandiri bukan hanya pada bagaimana proses pemekaran yang baik sehingga diatur sedemikian rupa untuk dapat mencapai tujuan, namun juga pada bagaimana meningkatkan kapasitas daerah yang telah dibentuk untuk mampu mewujudkan kesejahteraan bagi warganya, sehingga persoalan utama yang harus diselesaikan adalah peningkatan PAD melalui optimalisasi potensi daerah.