Dalam pernyataan publik tersebut, salah satunya perdana menteri mengatakan akan lebih baik jika pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat dalam proses penyelesaiannya ditangani oleh Indonesia sendiri.
Seperti diberitakan pang.org.fj, Direktur the Fijis Womens Crisis Center (FWCC), Shamima Ali menilai pernyataan tersebut sama halnya menunjukkan berapa banyak kebijakan pemerintah Fiji ditentukan oleh pemerintah Indonesia. Sementara pernyataan yang dikeluarkan pemerintah itu bertentangan dengan keputusan yang dibuat oleh Bainimarama sebelumnya bahwa akan memimpin pemerintah yang mendukung penuh hak-hak asasi rakyat Papua Barat terhadap penentuan nasib sendiri sebagaimana diatur dalam mukadimah konstitusi MSG.
"Pemerintah Indonesia tetap tidak dapat mengatasi pelanggaran HAM serius dalam hal hak-hak sipil, politik, budaya, ekonomi dan lingkungan," Shammima Ali, menambahkan bahwa pelanggaran ini telah didokumentasikan dengan baik oleh kedua badan monitoring hak asasi manusia domestik dan internasional, termasuk PBB Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia.
Shamima Ali yang juga mantan koalisi Komisaris Hak Asasi Manusia dan LSM Fiji Chair itu mengatakan, pelanggaran HAM berat di Papua Barat telah menjadi salah satu alasan utama masyarakat Papua Barat melalui payung the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mengajukan aplikasi baru untuk bergabung dengan keluarga Melanesia dalam forum MSG di Pasifik Selatan.
Ia juga menyampaikan keprihatinannya terhadap penangkapan yang dilakukan aparat Indonesia pada saat masyarakat Papua melakukan aksi damai dalam mendukung perjuangan ULMWP.