Guru Antonius Degei saat memberikan arahan sebelum memulai Ujian Praktek Mata Pelajaran Seni dan Budaya di halaman SD YPPK St.Yoseph Putaapa, Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua. Foto: Steve Degei
Ide untuk menulis tulisan ini lahir setelah diskusi panjang lebar bersama salah seorang guru muda dari Sekolah Dasar (SD) milik Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) di Pedalaman Papua. Ia adalah Antonius Degei, S.Pd., guru SD YPPK St. Yoseph Putaapa, Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua. Sehingga, seluruh isi dari tulisan ini adalah hasil ramuan dari perbincangan kami yang mendalam (intensive discussion). Obrolan kami tersebut tepatnya dari Kalibumi, Wanggar, Nabire, 23 Agustus 2015.
***
Pada hakekatnya kehidupan manusia tidak terlepas dari budayanya masing-masing. Betapa tidak mungkin, karena budaya itu sendiri lahir dari hasil daya, karya dan karsa setiap manusia. Sehingga, praktisnya dapat dipahami bahwa budaya sama halnya dengan kebiasaan hidup manusia sehari-hari.
Antropolog E.B. Tylor (1817) mendefinisikan kebudayaan adalah kompleks yang pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan lainnya serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan perkataan lain, kebudayaan mencakup semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Selanjutnya, jika budaya dapat dipahami sebagai kebiasaan, maka ia seyogiyanya selalu diwariskan dari generasi ke generasi. Idealnya hal tersebut jangan hilang ataupun terputus dalam pewarisannya. Sehingga, kesimpulan akhir dari diskusi kami pada saat itu adalah "Budaya Kita Harus Terus Dibudayakan".
Mengingat akan pentingnya budaya, kini banyak orang yang telah dan sedang melakukan berbagai terobosan untuk pemeliharaannya. Baik itu dari pihak akademisi, rohaniwan, budayawan, seniman maupun dari LSM. Tentu, semuanya dengan bermisikan pada pentingnya kelestarian nilai-nilai budaya itu sendiri.
Salah satu bentuk kepeduliannya adalah sebagaimana yang selama ini dilakukan oleh para guru di SD YPPK St. Yoseph Putaapa, Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai. Berdasarkan hasil perbincangan dengan salah seorang guru, ia mengakui bahwa selama ini merekapun tidak tinggal diam dalam mempertahankan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh segenap siswanya.
Hal yang mereka mencoba terapkan sejauh ini adalah dengan memanfaatkan mata pelajaran yang ada dalam kurikulum. Mata pelajaran yang digunakan adalah Seni dan Budaya. Dengan demikian, keefektifan dalam pembelajarannya tidak dapat dikhawatirkan lagi karena siswa pun aktif dan kreatif guna memperoleh nilai.
Kepedulian mereka itu muncul setelah melihat dan mengamati dua hal. Pertama, orang tua saat ini yang sudah tidak mau mengajarkan lagi tentang nilai-nilai budayanya. Kedua, adanya perkembangan Ilmu Pendidikan dan Teknologi (IPTEK) yang semakin pesat.
Padahal, hal tersebut sudah menjadi tugas dan tanggung jawab setiap orang tua. Prinsipnya, orang tua atau keluarga adalah komunitas pertama dan utama bagi setiap insan sebelum mengenal dunia lebih luas. Sehingga, semua yang berkaitan tentang kehidupan harus dikenalkan oleh kedua orang tua kepada anak-anaknya. Salah satunya adalah tentang nilai-nilai budaya yang mereka anut.
Namun demikian, hal tersebut terlihat sudah tidak dilaksanakan lagi oleh setiap orang tua kepada setiap anaknya saat ini. Dengan demikian, setiap sekolah yang dikenal sebagai komunitas belajar kedua setelah di keluarga, hendaknya aktif dan kreatif dalam mengisi kekurangan tersebut.
Sementara itu, perkembangan IPTEK juga dikhawatirkan berpengaruh dalam pewarisan nilai budaya. Betapa tidak mungkin, kawula muda saat ini dengan adanya berbagai kemudahan, mereka tidak mau lagi peduli dengan budaya. Tentu, mereka akan memiliki banyak alasan. Contohnya, mereka tidak mau dikata Anak Gagap Teknologi (GapTek); Kurang Pergaulan (KuPer); ketinggalan jamal (Anak Jadul), dan lain sebagainya.
Melihat fenomena di atas, berdasarkan hasil perbincangan kami, ia mengakui bahwa selama ini para guru tidak tinggal diam. Buktinya, Kami sudah mencoba terus mewariskan nilai-nilai budaya itu dengan memanfaatkan Mata Pelajaran Seni dan Budaya.
Selanjutnya, berikut petikan pernyataan yang pernah dilontarkan oleh sang guru.
"Untuk mata pelajaran Seni dan Budaya, kami selalu memberikan ujian prakteknya setelah semua Ujian Semesternya selesai.Waktu yang kami gunakan adalah saat satu minggu kosong setelah Ujian Semesteran.Ujian tersebut berlaku bagi semua siswa dari Kelas I hingga VI tanpa terkecuali," tutur sang guru jebolan dari Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Universitas Negeri Manado (UNIMA) itu.
Untuk memberikan nilai pada Mata Pelajaran Seni dan Budaya, para siswa selalu diminta mementaskan seni dan budayanya masing-masing. Mereka diwajibkan untuk mengenakan pakaian adatnya secara lengkap. Setelah itu, mereka pun harus menjelaskan setiap hiasan yang mereka kenakan dengan fungsinya masing-masing. Lalu, selanjutnya mereka menampilkan masing-masing 4 buah lagu adat (wajib).
Keempat Lagu Adat yang diwajibkan adalah antara lain 1).Komauga; 2). Emaa; 3).Kitouge; dan 4). Odihauga. Sebenarnya, ada beberapa lagi jenis lagu daerah. Namun, keempat inilah yang sejauh ini sudah diterapkan oleh para guru di sekolah tersebut.
Perlu diketahui bahwa empat Lagu Adat ini berasal dari Daerah Pedalaman Papua khususnya dari daerah yang dihuni oleh Suku Mee (Paniai) tepatnya di Daerah Mapia, Kabupaten Dogiyai.
Sebelum memulai seluruh penampilannya, mereka selalu diwajibkan untuk menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Hal ini sebagai perwujudan akan kenangan bahwa bangsa kita memiliki berbagai ragam Suku, Agama, Rasa dan Adat atau Budaya (SARA). Sehingga, semuanya wajib dan patut dilestarikan oleh setiap anak bangsa.
Menyinggung tentang bagaimana penilaiannya, ia menjelaskan bahwa ada beberapa kriteria utama yang dinilai. Setidaknya ada tiga kriteria utama yang dinilai selama pementasan, antara lain 1). Kelengkapan busana yang dikenakan (Pakaian Adat); 2). Intonasi; dan 3). Ekspresi.
Dari ketiga kriteria itu, aspek yang dinilai secara ketat dan serius adalah tentang kelengkapan busana yang dikenakan (pakaian adat). Jika ada siswa yang kedapatan tidak mengenakan dengan lengkap, maka mereka otomatis dikurangi nilai satu poin. Setelah itu, setiap guru juga selalu menanyakan kepada kedua orang tuanya tentang mengapa anaknya tidak berbusana adat secara lengkap?.
Sedangkan, untuk lagu daerah yang dibawakan, hal yang diutamakan adalah keberanian mereka tampil. Alasannya karena semuanya membutuhkan proses yang panjang untuk pembiasaan. Selain itu, karena mereka juga memiliki kesempatan yang banyak selama di bangku Sekolah Dasar (SD).
Hal lain yang meskipun tidak dinilai, namun diwajibkan oleh para guru selama praktek adalah wajib menggunakan bahasa daerahnya (bahasa ibu). Kebiasaan ini juga sengaja mereka terapkan karena melihat kini banyak kawula muda yang sudah tidak dapat berbahasa daerahnya dengan baik dan benar. Lebih parah lagi, ada dari mereka yang hanya mendengar saja tidak, apalagi berbicara.
Perlu diketahui bahwa selama pemberian ujian praktek tersebut, para guru yang hendak memberikan ujian juga selalu mengenakan pakaian adat sebagaimana yang dikenakan oleh para siswanya. Hal yang selama ini diyakini oleh para guru adalah bahwa jika mereka saja berlaku demikian, maka para siswa tentu dengan sendirinya akan merasa ditantang untuk mengenakannya.
Hal menarik lainnya, sepanjang ujian berlangsung, para guru menjalankan perannya dengan mengenakan pakaian adatnya. Selain itu, bahasa yang digunakan dalam memberikan pengarahan pun dengan bahasa daerahnya. Sehingga, pembelajaran yang selama ini diterapkan sungguh aktif, kreatif dan tentunya menyenangkan. Baik itu bagi para siswa maupun para gurunya.
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa pendekatan belajar yang selama ini mereka mencoba terapkan adalah proses belajar mengajar yang kontekstual (Contextual Teaching Learning atau CTL). Dengan berpedoman pada prinsip Pembelajaran yang Aktif, Kreatif dan Menyenangkan (PAIKEM). Hal yang paling penting di sini adalah siswa dan guru mengalami bersama proses belajarnya (learning by experiencing or learning by doing).
Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis hendak menegaskan kembali bahwa tulisan ini bukan bersifat meninggi-ninggikan ataupun membesar-besarkan nama baik sekolah tertentu. Tetapi, tujuannya adalah untuk membangun kesadaran bersama (people awareness) tentang betapa pentingnya nilai-nilai budaya yang kita miliki itu dipertahankan dengan mewariskan dari generasi ke generasi.
Patut dicatat bahwa model pembelajaran yang selama ini diterapkan oleh sekolah tersebut di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak cara yang boleh diterapkan oleh setiap sekolah. Terlebih khusus adalah dimulai dari jenjang sekolah yang paling rendah. Contohnya adalah dari tingkat Sekolah Dasar (SD) karena di sanalah tempat setiap individu akan belajar tentang dasar-dasar dari seluruh pengetahuan.
Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis hendak mengutip kembali salah satu pesan yang disampaikan oleh Guru Antonius Degei, S.Pd., selaku narasumber utama dari bahan tulisan ini. Oleh karena itu, besar harapan supaya ulasan tulisan ini dapat menjadi bahan inspirasi untuk berpikir tentang pewarisan nilai-nilai budaya secara berkelanjutan dari generasi generasi (continuously).
"Kami berharap supaya setiap sekolah juga peka untuk melihat dan memikirkan tentang penyelamatan nilai-nilai budaya kita. Ingat budaya kita adalah identitas kita. Harapannya supaya ia tidak punah. Karena kalau bukan oleh kita, siapa lagi? Dan, kalau bukan dimulai dari sekarang, kapan lagi?" pesan sang guru muda itu dengan raut wajah yang penuh harap.
"Budaya Kita Harus Terus Dibudayakan" adalah kesimpulan akhir dari perbincangan antara penulis dengan narasumber.
Salam Perubahan!
Felix Minggus Degei adalah Asisten Dosen pada Program Studi Bimbingan dan Konseling (Psikologi) FKIP Universitas Cenderawasih Jayapura-Papua.