Adrian Pereira, Wakil Presiden Pax Romana Asia Pasific
SIARAN PERS!
Setiap orang memiliki hak untuk berorganisasi, menyampaikan pendapat dan bereskpresi sebagaimana di atur dalam kovenan hak sipil dan politik dari Perserikatan Bangsa Bangsa dan juga dijamin dalam Undang Undang Republik Indonesia, tapi tidak diberlaku di tanah Papua.
Pada tanggal 8 Oktober 2015, sejumlah mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam kelompok SKP HAM disiksa oleh pihak Kepolisisan POLDA Papua ketika aparat Kepolisian melakukan pembubaran paksa disaat massa aksi sedang melakukan aksi damai menuntuk proses penyelesaian kasus Paniai Berdarah pada 8 Desember 2014 silam. Sekitar sembilan belas orang telah disiksa dan ditahan oleh pihak Kepolisian Polda Papua. Aparat Kepolisian Polda Papua beralasan bahwa massa aksi tidak memiliki ijin dari pihak Kepolisian untuk aksi damai.
Menyikapi peristiwa pembubaran, penangkapan, dan penyiksaan beberapa mahasiswa dan beberapa frater dari Ordo Fransiskan dan OSA oleh aparat kepolisian Polda Papua, maka kami Pax Romana Asia Pasific – sebagai Asosiasi persatuan profesional dan intelektual Katolik international yang bertujuan untuk menciptaptakan dunia yang damai, adil dan berkelanjutan, dan diakui oleh Takhta Suci (Vatikan) dan aktif dalam jaringan masyarakat sipil internasional seperti Konferensi Non-Governmental Organizations. Ini memiliki hubungan konsultatif dengan PBB– mengutuk dengan tegas tindakan pihak kepotilisan. Kami menilai bahwa aparat kepolisian telah melakukan pelanggaran terhadap hukum dan ham, khususnya hak untuk bebas berbicara dan berpendapat di muka umum sesuai diatur dalam kovenan hak-hak sipil politik dan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, secara khusus dalam UU No. 9 tahun 1998.
Adrian Pereira, Wakil Presiden Pax Romana untuk wilayah Asia dan Pasifik menyetakan turut prihatian atas semakin memburuknya praktek demokrasi di tanah Papua. “Kami melihat bahwa praktek Demokrasi di Papua semakin memburuk. Tidak membaik, meskipun Indonesia kini memiliki Presiden dari sipil,” tegas Adrian Pereira. Lebih lanjut, Adrian Pereira menegaskan bahwa kini ada di tanah Papua ada begitu banyak orang ditangkap dan dipenjarahkan tanpa proses hukum yang adil dan berpihak pada kebenaran. “Indonesia telah keliruh, bahkan salah, dalam menyelesaikan konflik di tanah Papua. pendekatan pola militer yang masih diterapkan oleh Pemerintah Indonesia menjadi masalah besar untuk kehidupan berdemokrasi di tanah Papua. Peristiwa pada tanggal 8 Oktober 2015 menjadi gambaran terbaru untuk kita semua bahwa Pemerintah Indonesia tidak menjalankan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia di tanah Papua.”
Sementara menurut Anne Beatrice, koordinator Program Pax Romana Asia – pasific untuk Papua menegaskan bahwa sudah saatnya pihak Pemerintah Indonesia memberlakukan prinsip-prinsip demokrasi dan ham di tanah Papua dengan membebaskan wartawan asing dan pekerja hak asasi international untuk bekerja di tanah Papua tanpa melalui clearing house yang dibentuk oleh Pemerintah. “Joko Widodo telah menyatakan untuk membuka akses kepada wartawan asing untuk meliput di Papua, tapi mengapa masih ada “clearning hause” untuk para wartawan dan pekerja ham. Ini tidak dibenarkan”, tegas Anne. Lebih lanjut, “Kami juga mendapat kabar bahwa hari ini, 9 Oktober 2015, seorang aktivis KNPB atas nama Agus Kossay telah ditahan oleh aparat keamanan terkait dengan aktivitasnya mendampingi wartawan asing asasl Prancis ketika melakukan liputan di Okhika, Pegunungan Bintang, Papua”, tegasnya.
Oleh karena itu, Pax Romana Asia Pasific menilai bahwa Pemerintah Indonesia tidak memiliki komitmen untuk melindungi, mempromosikan dan memulihkan hak asasi orang asli Papua.