LOGO : AMNESTI INTERNASIONAL (Google) |
Kabar Amugi Kibah, Suara,JAKARTA –
Amnesty International menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk
mengambil langkah segera agar memastikan akses yang bebas dan tanpa
halangan ke provinsi Papua dan
Papua Barat bagi jurnalis, organisasi HAM non-pemerintah, dan lembaga
pemantau internasional lainnya untuk membuat laporan pelanggaran HAM,
sebagaimana yang dijanjikan Presiden Joko Widodo pada Juni 2014 semasa
kampanye pemilu presiden.
Larangan
akses ke Papua bagi jurnalis dan ornop HAM internasional, termasuk
Amnesty International, telah diterapkan bertahun-tahun. Larangan akses
ke kedua provinsi di atas membatasi laporan-laporan independen tentang
situasi HAM di sana. Larangan akses ini juga menyumbang kepada iklim
impunitas di kawasan tersebut yang mana telah banyak laporan yang
konsisten tentang penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya; penggunaan
kekuataan yang tidak perlu dan berlebihan; dan pembunuhan di luar hukum oleh aparat-aparat keamanan.
Para pembela HAM dan aktivis politik secara khusus beresiko terhadap pelanggaran HAM.
Presiden Joko Widodo (Jokowi)
menjabat pada Oktober 2014 dengan komitmen untuk menghormati dan
melindungi HAM di Indonesia dan akan memperbaiki situasi di Papua.
Selama kampanye pemilu presidennya, Jokowi mengunjungi kawasan Papua
tiga kali dan berjanji akan membuka akses masuk ke Papua bagi jurnalis
dan organisasi-organisasi internasional, jika ia terpilih menjadi
presiden.
Namun
demikian, setelah lebih dari enam bulan, situasi lapangan di Papua
belum berubah dan dugaan-dugaan pelanggaran HAM terus dilaporkan. Pada
Desember 2014, empat pelajar tewas ditembak dan puluhan lainnya
luka-luka ketika para aparat keamanan melepaskan tembakan terhadap
sebuah aksi protes damai di Paniai, Papua. Pada Maret 2015, empat
pelajar, tiga di antaranya anak kecil, ditahan secara semena-mena dan
dan disiksa atau paling tidak diperlakukan buruk oleh polisi di Abepura.
Pada April, lima aktivis politik Papua ditahan secara semena-mena dan
dijadikan tersangka lewat pasal-pasal makar oleh polisi setelah mereka
melakukan rapat dan berdiskusi tentang situasi Papua dengan Menteri
Pertahanan di Jakarta.
Amnesty
International percaya bahwa membuka akses Papua bagi pemantau
internasional akan mengirimkan pesan kuat kepada komunitas internasional
bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak memiliki sesuatu yang
ditutup-tutupi dan akan berkontribusi kepada meningkatnya transparansi,
akuntabilitas, dan perlindungan HAM di kawasan tersebut.
Pihak
berwenang Indonesia juga harus membebaskan semua tahanan nurani
(prisoners of conscience) di Papua dan tempat lain di Indonesia, dan
juga mengubah atau mencabut pasal-pasal tentang makar di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah digunakan untuk
memenjarakan puluhan aktivis politik hingga 15 tahun karena secara damai
menjalankan hak-hak mereka atas kebebasan berekspresi, termasuk
menaikan atau mengibarkan bendera-bendera pro-kemerdekaan.
Amnesty
International tidak mengambil posisi apa pun tentang status politik
dari provinsi apa pun di Indonesia, termasuk menyerukan kemerdekaan.
Namun demikian, Amnesty International percaya bahwa hak atas kebebasan
berekspresi mencakup hak dengan cara damai untuk mengkampanyekan
referendum, kemerdekaan atau solusi politik lainnya.
Amnesty
International mendukung inisiatif yang dipimpin oleh ornop Inggris
TAPOL untuk menyerukan kepada pihak berwenang Indonesia untuk memastikan
akses yang bebas dan tanpa halangan bagi jurnalis, ornop HAM, dan
pemantau internasional lainnya ke provinsi Papua dan Papua Barat di mana
pelanggaran HAM yang sistematis terjadi. Ada berbagai demonstrasi dan
aktivitas lainnya pada minggu ini di Inggris dan berbagai tempat di
negeri-negeri lain.
Sumber:suarajakarta.co