Poster pemutaran film "Tanah Mama" (Sumber :http://www.21cineplex.com/)
Selama ini, kebanyakan rakyat Indonesia mengenal Papua dari pariwisatanya, sebagian kecil lainnya mengenal Papua dari berbagai konflik didalamnya. Kali ini ada sebuah film yang mencoba mengenal Papua dari sisi lain. Adalah seorang sutradara dan penulis film, Asrida Elisabeth, yang mencoba menggambarkan Papua dari cara pandang seorang Mama Papua.
Film dokumenter sepanjang 62 menit ini menceritakan kehidupan Mama Halosina di Anjelma, sebuah kampung di pedalaman pegunungan Yahukimo Papua, 5 jam perjalanan dengan berjalan kaki dari Wamena. Alur cerita film ini dibiarkan mengalir, tanpa ada sisipan wawancara layaknya film dokumenter, yang kadang justru membosankan. Dari awal hingga akhir, film Tanah Mama terfokus pada kisah Mama Halosina. Setiap pagi selama proses pembuatan film, Mama Halosina memakai klip mikrofon di balik bajunya. Empat juru kamera yang semuanya perempuan mengikuti kehidupan sehari-hari si mama.
Film dokumenter ini awalnya ingin menceritakan tokoh Mama Halosina sebagai seorang dukun beranak di tengah sulitnya fasilitas kesehatan di Papua. Namun alur cerita diubah sang sutradara saat mendapati Halosina pindah dari kampungnya yang berada di Desa Huguma ke Desa Anjelma, karena dianggap mencuri ubi dari kebun adik iparnya. Mama Halosina mencuri ubi karena suaminya, yang memiliki istri kedua, tidak lagi membukakan ladang untuknya sehingga Halosina tidak bisa bercocok tanam dan bekerja di ladang. Sehinga Mama Halosina kesulitan untuk menghidupi dirinya dan keempat orang anaknya.
Kelaparan dan tidak punya uang serta keharusan untuk menghidupi 4 orang anaknya Halosina terpaksa mengambil ubi dari kebun adik iparnya untuk memberi makan anak-anaknya. Walau bagaimanapun, perilakunya ini dianggap sebagai pelanggaran hukum adat dan ia harus membayar denda . Halosina pun menghadapi kenyataan pahit saat Hosea sang suami sama sekali tidak membelanya di depan Ketua Adat dan adiknya sang pemilik tanah. Ternyata ada alasan sang suami saat tidak membela istrinya, ia merasa malu tidak bisa memberi makan istri dan anak-anaknya
Ketika Mama Halosina memiliki sedikit bawang dan sayuran untuk dijual di pasar kota, hasil yang didapatnya hanya cukup untuk membeli minyak goreng dan obat demam salah satu anaknya. Halosina pun kabur dari desanya. Ketika warga desa merayakan panen ubi, ia hanya bisa menyaksikan dengan sedih karena sudah tak lagi menjadi bagian dari mereka.
Buka Mata Untuk Papua
Film ini dibuat dengan begitu apik menggambarkan Papua dari mata perjuangan seorang Mama Papua. Menurut saya, film ini akan membantu membuka mata para turis di Raja Ampat bahwa Papua tidak hanya soal keindahan alam saja, ada perjuangan memerangi kemisikinan didalamnya. Film ini selayaknya akan membuka mata kelompok OPM di luar negeri bahwa rakyat Papua butuh keadilan, tidak hanya dari pemerintah Indonesia tetapi dari suami dan anggota sukunya sendiri yang juga merupakan orang Papua. Film ini juga harus membuka mata pemerintah Indonesia, bahwa Papua tidak hanya urusan mengurusi kelompok-kelompok separatis saja, tetapi juga rakyat Papua yang lainnya.
Bagi yang ingin memahami tentang sebuah daerah kaya nan indah di ujung timur Indonesia, film ini mungkin bisa menjadi salah satu alternatif tontonan yang mencerahkan.
Sumber :
http://www.21cineplex.com/tanah-mama-movie,3742,05TMAA.htm